• Beranda
  • Berita
  • Mengupas kelainan kolesterol yang bisa dialami orang kurus dan gemuk

Mengupas kelainan kolesterol yang bisa dialami orang kurus dan gemuk

13 Agustus 2021 16:19 WIB
Mengupas kelainan kolesterol yang bisa dialami orang kurus dan gemuk
Ilustrasi seorang pria terkena sakit kepala (Pixabay)
Bukan hanya orang gemuk, kelainan kolesterol atau disebut dislipidemia bisa juga dialami mereka yang bertubuh kurus, menurut Ketua Divisi Endokrin Metabolik dan Diabetes, Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Dr. dr. Tri Juli Edi Tarigan, Sp.PD, KEMD.

Baca juga: Batasi asupan daging kurban demi cegah diserang kolesterol jahat

"Orang dengan kolesterol tinggi enggak mesti gemuk. Jangan berpikir, orang yang kolesterol tinggi selalu identik dengan gemuk. Orang yang kolesterol tinggi itu bisa bawaan, enggak mesti orang diabetes dan obesitas," ujar dia dalam webinar bertajuk "Pentingnya Pengelolan Diabetes dan Dislipidemia: Upaya Menurunkan Risiko Komplikasi Penyakit Jantung dan Kardiovaskular", Jumat.

Masalah kesehatan ini sebenarnya mencakup semua kelainan metabolisme lipid di dalam tubuh seseorang beragam spektrum mulai dari tidak ada keluhan sampai mereka dengan terkena stroke dan lainnya.

Kebanyakan pasien dislipidemia pada awalnya tak mengalami keluhan. Kalaupun ada biasanya sebatas pegal-pegal, tengkuk terasa tidak nyaman, sakit kepala.

Penyebabnya terbagi dua yakni primer dan sekunder. Pada penyebab primer, biasanya karena kelainan bawaan dan kolesterol LDL atau trigliserida sangat tinggi.

Sementara pada penyebab sekunder antara lain gaya hidup tak sehat seperti jarang bergerak, asupan makanan tinggi kolesterol dan karbohidrat, penyakit diabetes dengan kebocoran ginjal, hipotiroid, sirosis bilier dan mengonsumsi obat-obatan tertentu sehingga menyebabkan kolesterol tinggi.

Manifestasi penyakit ini bisa bermacam-macam seperti arkus senilis yang ditandai adanya warna putih di pinggiran kornea biasanya karena kolesterol tinggi, xantelasma pada kelopak mata atau xantoma tendon achiles, siku dan lutut serta lipatan-lipatan sendi. Kondisi ini terjadi saat LDL sangat tinggi.

Pada kondisi trigeliserida yang sangat tinggi (lebih dari 500 mg/dL) dapat memunculkan radang akut pada pankreas, menyebabkan mual, muntah, kesemutan, tidak enak badan akibat darah yang kental, rasa sesak napas dan gangguan kesadaran.

"Kalau ekstrem tinggi dan jarang ditemukan, darah menjadi putih karena kolesterol tinggi, ada kelainan di retina," tutur Tri Juli.

Baca juga: Dokter: Bijak konsumsi santan jika punya riwayat stroke

Diagnosis

Menurut Tri Juli, dokter dalam mendiagnosis dislipidemia tidak sebatas mempertimbangkan panduan angka-angka yang menunjukkan target kadar kolesterol total hingga kolesterol LDL atau kerap disebut kolesterol jahat.

"Ini nilai-nilai yang diinginkan, sebaiknya dicapai. Kalau mendeteksi kelainan itu kolesterol total di atas 240, kolesterol LDL di atas 160. Ini panduan umum saja dan masing-masing pasien punya target tertentu, apa dia kencing manis, kena serangan jantung, stroke, masalah ginjal dan sebagainya," kata dia.

Sebagai gambaran, kolesterol total yang diinginkan umumnya kurang dari 200 mg/dL dan dikatakan sedikit tinggi bila 200-239 mg/dL, sudah masuk kategori tinggi bila sudah di atas 240 mg/dL.

Untuk kolesterol LDL, optimalnya di bawah 100 mg/dL, mendekati optimal pada 100-129 mg/dL, sedikit tinggi bila 130-159 mg/dL, tinggi 160-189 mg/dL dan sangat tinggi lebih dari 190 mg/dL.

Untuk kolesterol HDL, dikategorikan rendah bila di bawah 40 mg/dL dan tinggi apabila di atas 60 mg/dL, sementara untuk trigliserida normalnya di bawah 150 mg/dL, sedikit tinggi 150-199 mg/dL, tinggi 200-499 mg/dL dan sangat tinggi di atas 500 mg/dL.

Dokter biasanya akan melakukan wawancara terlebih dahulu pada mereka dengan kecurigaan kelainan lemak, kemudian melakukan pemeriksaan fisik hingga meminta pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang yang umumnya mengharuskan mereka puasa 12 jam (tetap boleh minum air putih).

Orang-orang dengan faktor risiko disarankan melakukan penapisan dislipidemia. Mereka ini antara lain: perokok, diabetes, hipertensi, riwayat PJK, keluarga dengan dislipidemia, penyakit ginjal kronik, penyakit inflamasi kronik, jarang gerak, lingkar pinggang di atas 90 cm (laki-laki) atau 80 cm (perempuan), disfungsi ereksi, aterosklerosis atau aneurisma abdominal, obesitas (IMT di atas 25), usia di atas 40 tahun (pria dan di atas 50 tahun (wanita) dan menopause.

"Sebaiknya diskrining dari awal. Kalau sudah sesuai target nanti dokternya akan mengklasifikasikan risikonya berdasarkan skor, misalnya risiko terkena serangan jantung berapa tahun lagi, semuanya dikalkulasi sehingga nanti diputuskan apa ini perlu obat atau tidak atau cukup dengan jaga makan, perbanyak langkah, istirahat cukup," tutur Tri Juli.


Baca juga: Berdamai dengan kolesterol dan kalori Lebaran

Baca juga: Tubuh kurus tak jamin bebas kolesterol

Baca juga: Yang harus dilakukan setelah konsumsi makanan penuh kolesterol

 
 
Ilustrasi (Pixabay)


Akibat kena dislipidemia

Kelainan kolesterol ini biasanya dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular dan termasuk faktor risiko utama penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke, dengan angka kematian sebanyak 17,3 juta dari total 54 juta kasus mortalitas per tahunnnya di Indonesia, menurut data dari PERKENI tahun 2019.

"LDL yang bisa masuk ke dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan aterosklerosis atau plak yang sewaktu-waktu bisa pecah dan menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan aliran darah di pembuluh darah kaki dan sebagainya," jelas Tri Juli.

Selain itu, dislipidemia juga berperan penting pada kejadian penyempitan pembuluh darah kaki maupun pembuluh darah kecil seperti di mata dan saraf.

Di Indonesia, sebuah studi pada 2011 menunjukkan prevalensi masalah kesehatan ini berkisar antara 9-25 persen, dengan suku bangsa Minangkabau menduduki peringkat tertinggi yakni 24,8 persen (kadar kolesterol total >200 mg/dL).

Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, sekitar 35,9 persen orang dengan kolesterol total di atas 200 mg/dL, yang menjadi cikal bakal orang nantinya terkena serangan jantung, stroke.

Baca juga: Manfaat ceri, melindungi dari diabetes hingga menurunkan kolesterol
 
Ilustrasi berlari (Pixabay)


Mengatasi dislipidemia

Saat diagnosis sudah tegak, dokter akan menentukan pengobatan pasien, yakni cukup memodifikasi gaya hidup ataukah perlu obat. Pengelolaan penyakit terbagi dua salah satunya non-farmakologis seperti meminta pasien banyak bergerak atau mempertahankan aktivitas fisik yang sudah dilakukan secara teratur.

Tri Juli menyarankan pasien melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit per hari, 4 kali seminggu dengan intensitas sedang. Kegiatan yang disarankan jalan cepat, bersepeda dan berenang.

Untuk makanan, pasien perlu membatasi asupan karbohidratnya agar tidak meningkatkan kolesterol, sayuran kurang lebih 5 porsi sehari, biji-bijian lebih dari 6 porsi per hari, ikan dan daging tanpa lemak, serat larut air 15-25 gram per hari serta batasi lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol.

"(Batasi) gorengan yang pakai minyak berulang-ulang," kata dia.

Kemudian, pasien juga diupayakan memiliki berat badan ideal dan berhenti merokok bila mereka

Bila obat-obatan diperlukan, biasanya dokter akan meresepkannya sesuai kondisi masing-masing pasien. Khusus untuk mereka yang sudah diresepkan statin lalu terkena COVID-19, sebaiknya meneruskan minum obat. Sebelumnya, berkonsultasilah dulu dengan dokter.

"Ada studi pasien COVID-19 yang mendapatkan statin itu lebih baik outcome-nya. Teman-teman yang isoman dan mendapatkan statin, diteruskan saja statin-nya. Hanya pada kondisi tertentu seperti gangguan hati yang berat atau ginjal, nanti dokter yang memutuskan perlu statin atau tidak," demikian kata Tri Juli.


Baca juga: Periksa kolesterol berkala demi enyahkan risko kena sakit jantung

Baca juga: Makanan yang dapat menurunkan kolesterol usai "pesta" daging

Baca juga: Sakit leher bukan gejala kolesterol tinggi

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021