Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menginventarisasi 32 komunitas di lima provinsi yang teridentifikasi sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan sebanyak 22 komunitas MHA di antaranya difasilitasi pengakuan dan perlindungan oleh KKP.Konstitusi kita mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya....
"Konstitusi kita mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.
Fasilitasi pengakuan dan perlindungan bagi MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah dilakukan KKP sejak tahun 2016 melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL).
Baca juga: Mendes PDTT sebut belum ada pengakuan resmi untuk desa adat
Selama lima tahun ini, Ditjen PRL KKP telah menginventarisir sejumlah 32 komunitas di lima provinsi yang teridentifikasi sebagai MHA, 22 komunitas di antaranya telah ditetapkan melalui 18 peraturan/surat keputusan bupati/wali kota.
Selain itu, dalam rangka penguatan dan pemberdayaan MHA, KKP juga telah menyalurkan 45 paket bantuan pemerintah untuk 21 komunitas MHA, 2 di antaranya juga sudah menerima program peningkatan kapasitas di bidang perikanan dan wisata bahari.
"KKP terus berkomitmen dan melanjutkan program perlindungan dan penguatan MHA, guna mencapai MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kuat, sejahtera, dan mandiri," ucap Tari, sapaan akrab Pamuji Lestari.
Baca juga: Kolaborasi publik diperlukan dorong RUU Masyarakat Hukum Adat
Mengenai pengelolaan ruang laut oleh MHA, Tari juga menegaskan hal tersebut tidak hanya dilakukan melalui kontrak sosial informal, tapi telah berada dalam tahap pengakuan dan penguatan secara tertulis.
Keberadaan dan pelibatan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara tegas telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Sementara itu, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K) Muhammad Yusuf menerangkan bahwa sesuai UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, masyarakat adat merupakan bagian dari masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengakuan ini dilakukan sebagai upaya pelestarian eksistensi masyarakat adat dan hak tradisionalnya seiring dengan perkembangan zaman.
"Pelibatan adat sebagai aset budaya terus dikembangkan dengan disahkannya perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014. Nomenklatur masyarakat adat disempurnakan menjadi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan ruang laut di wilayah kelola adatnya serta berhak mengusulkan alokasinya dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," jelas Yusuf.
Baca juga: DFW: Perkuat peran masyarakat adat kelola sumber laut Nusantara
Selain itu, terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA, membuka jalur yang jelas dalam mewujudkan janji negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA. Dalam peraturan ini, Gubernur dan Bupati/Wali Kota sesuai kewenangannya dan dengan membentuk Panitia MHA Kabupaten/Kota, melakukan pengakuan dan perlindungan MHA.
Peraturan tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola MHA dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang semakin mempertegas kedaulatan MHA terhadap wilayah kelola adatnya yaitu Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dapat diberikan di wilayah MHA setelah mendapat persetujuan MHA.
Yusuf juga mengungkapkan beberapa tantangan masih dihadapi dalam proses pengakuan dan perlindungan MHA antara lain masih kurangnya sinergitas antarpemangku kepentingan terkait, belum teralokasinya wilayah ruang laut (wilayah kelola adat) MHA dalam Rencana Zonasi, peningkatan kedaulatan dan kapasitas lembaga MHA dalam menjaga wilayah dan mengelola nilai potensi sumber daya kelautan dan perikanan di wilayahnya, serta masih kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021