Dengan cara apa kita menggapai impian itu? Sekian puluh tahun kita mendeklarasikan eksistensi Indonesia di pentas dunia, dari laporan World Bank Juni 2021 negeri kita tercinta masih dalam kategori berpendapatan menengah bawah. Apa yang luput dari pandangan sehingga "zamrud khatulistiwa" dan sekian banyak potensi Indonesia yang kaya raya ini seolah tak berdaya guna?
Berkaca pada perspektif dan cara para pendiri bangsa.
Tokoh-tokoh pendiri bangsa kita sungguh visioner. Dokumen sejarah yang terekam juga menunjukkan bahwa para negarawan kita sangat bijaksana dan mampu mengelola potensi serta kekuatan yang ada di tengah tantangan yang amat luar biasa. Salah satu momentum itu adalah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Sejumlah tantangan menghadang apa yang sejak lama dicita-citakan. Persenjataan sangat minim. Jepang masih berkuasa, sedangkan Inggris, Belanda serta pasukan sekutu sudah bersiap menjajah kembali di belakang kekuatan Nippon yang melemah menghadapi perang di Pasifik.
Peta politik internal juga rawan perpecahan. Kesenjangan antara generasi muda dan elite-elite yang tampil sebagai leader cukup terbentang. Belum lagi bila kita mengingat suku, ras, agama serta kebinekaan. Tanpa kematangan dalam mengelola kebersamaan, niscaya proklamasi kala itu bakal terseok-seok lantaran setiap pihak mengedepankan kepentingan masing-masing kelompok.
Yang sangat menarik adalah perspektif dan cara para pendiri bangsa bergerak hingga deklarasi kemerdekaan terwujud. Pertama, momentum tersebut mereka pahami bukan semata-mata buah dari aktivitas yang dilakukan para pejuang. Benar bahwa para pejuang punya andil dan penuh pengorbanan. Tapi faktor utama dan dinilai sangat menentukan kemerdekaan adalah: campur tangan Tuhan.
Jejak paling otentik bisa kita lihat pada alinea ketiga teks pembukaan UUD 1945 yang diputuskan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi. Selain kalimat "didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas" yang merujuk pada usaha-usaha para pejuang, pada pembukaan ditegaskan bahwa kemerdekaan itu kita raih "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa".
Nuansa agamis yang sama tertera dalam rapat-rapat beberapa bulan sebelum proklamasi. Baik di dalam Panitia Kecil, Panitia Sembilan, maupun Panitia Perancang Undang-Undang Dasar saat merumuskan dasar-dasar negara yang hendak dipakai untuk mendirikan Indonesia merdeka, sebagai pondasi, filsafat, pikiran yang mendalam. "Filosofische Grondslag," kata Bung Karno.
Baca juga: Menkes ajak masyarakat beri hadiah HUT RI dengan penerapan prokes
Baca juga: Survei: 95 persen responden setuju lagu Indonesia Raya di ruang publik
Dari rumusan yang kemudian disepakati bersama itu kita dapat membaca pemikiran, sikap bahkan konstelasi kekuatan yang mewarnai keragaman Indonesia. Di antara ideologi nasionalis sekuler, kelompok agamis juga nyata dan memainkan peran menentukan. Bukan sekadar hadir, keduanya bersatu tanpa saling melemahkan.
Kesaksian tokoh penting proklamasi Sayuti Melik yang dituangkan dalam artikel "Perkenalan Saya dengan Bung Karno", sangat cukup menggambarkan eksistensi dan perpaduan nasionalis sekaligus agamis. Di buku yang diterbitkan Sinar Harapan dengan judul "80 tahun Bung Karno", pemuda yang dikenal sebagai pengetik naskah proklamasi ini memaparkan alasan Sang Proklamator ketika menggali nilai-nilai Pancasila.
Bagi Bung Karno, dasar atau filsafat yang harus dipergunakan Indonesia merdeka selain "sosio-nasionalisme" dan "sosio-demokrasi" adalah Ketuhanan. 'Sebab, perjuangan bangsa Indonesia adalah berdasarkan Ketuhanan juga. Pengertian ini diperoleh dari kenyataan banyaknya perjuangan yang berasaskan keagamaan," tulis Sayuti Melik.
Sebagai turunan dari prinsip berketuhanan, hal menarik kedua adalah penggunaan kata "berkat" pada pembukaan UUD 1945. Di samping mengimani keberadaan Tuhan, dengan kacamata religius para tokoh bangsa memaknai kemerdekaan sebagai nikmat pemberian Tuhan. Tuhan yang maha pemurah, yang tidak sekadar mengabulkan doa, tapi juga menganugerahi bangsa Indonesia dengan potensi, kekayaan, keunggulan dan kekuatan.
Ada delapan makna berkat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semua berputar sekitar kebaikan, keberuntungan, kebahagiaan, manfaat, keselamatan dari Tuhan. Kata ini sangat dekat dengan kata berkah. Barokah dalam Arab, yang lagi-lagi mengingatkan kita perihal kiprah golongan agamis dalam percaturan politik bangsa Indonesia.
Memperlakukan Berkat
Maka, Indonesia Tangguh dan Tumbuh bukan impian yang mustahil kita wujudkan. Target untuk kembali menjadi Macan Asia yang hebat di banyak bidang pun optimistis dapat kita raih.
Dari segi peta kekuatan, komposisi nasionalis agamis tak jauh berubah hingga sekarang. Ini bisa dibuktikan dari kemunculan partai-partai politik paska reformasi dan kesuksesan mereka meraih dukungan publik dengan mengusung isu nasionalis agamis sebagai daya tarik.
Tingkat elite politik juga demikian. Perpaduan dua kekuatan itu tercermin dari mesin politik di balik dukungan terhadap pemenang pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden-wakil presiden 2019 lalu. Artinya, perspektif yang religius masih berakar kuat di masyarakat.
Merujuk pada pengalaman deklarasi kemerdekaan, situasi sekarang ini menguatkan keyakinan kita bahwa tantangan serumit apapun pasti bisa kita atasi bersama jika ada persatuan.
Pertanyaan berikut yang perlu direnungkan adalah mengenai perspektif Ketuhanan. Masih adakah kacamata yang membuat kita menyadari bahwa berkah Tuhan itu ada?
Setelah menyadari berkah itu ada, optimisme kita harus dipertajam dengan tetap memahami bahwa sesungguhnya perang terus berlanjut hingga sekarang. Pertempuran antarnegara memang keniscayaan yang tidak akan hilang sampai kapan pun. Orang seringkali terlena bahwa di balik wacana membangun kesepakatan demi menciptakan perdamaian global pun agenda pertarungan kepentingan itu tak pernah sirna.
Kita patut miris jika kita yang diberkati kekayaan alam berupa hutan, tetapi orang lain yang mengatur cara kita mengurus pepohonan, kayu-kayu dan seluruh isi belantara. Kita harus merasa dikadali ketika hendak mengekspor produk-produk keluar negeri selembar sertifikat dijadikan tameng proteksionisme gaya baru.
Hutan, emas, nikel, minyak bumi, batu bara, rempah-rempah, semua adalah berkat. Kekayaan alam ini terpendam dan tumbuh dengan sendirinya tanpa usaha dan kerja keras kita. Ikan, kopi, cokelat, kelapa sawit juga demikian. Komoditas-komoditas yang dibutuhkan masyarakat dunia ini adalah di antara sekian banyak berkat yang harus kita jaga. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif.
Sinar matahari, curah hujan, jenis tanah pun berkah. Kita patut bersyukur ketika pengalaman dan ilmu pengetahuan memastikan bahwa pohon kelapa sawit yang aslinya dari Afrika Barat ternyata menjadi tanaman yang sangat cocok dibudidayakan di daerah tropis.
Benihnya dibawa tahun 1848 dari Bourbon-Mauritius dan Amsterdam lalu ditanam sebagai koleksi atau ornamental purpose (tanaman hias). Karena melihat peluang bisnis, mulai 1870 pemerintah kolonial Belanda mengkomersialkannya dengan membangun perkebunan kelapa sawit. Berkat iklim yang pas crude palm oil (CPO) yang dihasilkan memang menggiurkan, melebihi produktivitas dari negara asal.
Semua keunggulan yang terkandung di dalam tanaman ini --entah manfaatnya sebagai bahan pangan, gaya hidup, hingga sumber energi terbarukan-- itu tentu akan sia-sia ketika beragam halangan tak kita atasi bersama.
Itu sebabnya pemahaman tentang hakikat dan keniscayaan perang menjadi penting. Pertarungan dan pertempuran selalu ada. Pemahaman tentang bermacam berkat yang kita punya ini sama urgent-nya dengan peningkatan skill dan kompetensi dalam bidang negosiasi dan diplomasi. Dengan demikian, kita dapat memperlakukan berkat dengan tepat.
Pemberian Tuhan pada Indonesia benar-benar dapat kita kelola demi kemajuan Indonesia Raya. Merdeka!
*) Mochamad Husni, Praktisi Komunikasi
Pewarta: Mochamad Husni
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021