Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengharapkan Dewan Pers bisa mengontrol praktik jurnalisme yang makin marak mengandalkan clickbait atau judul berita bombastis yang dikenal juga dengan istilah "clickbait journalism".Kita bisa mendorong peran pers ini, untuk mengedukasi terkait informasi seputar COVID-19 pada khalayak luas sehingga hoaks ini bisa dilawan
"Clickbait journalism ini semakin marak. Mungkin Dewan Pers tolong bisa dipantau sehingga bisa ada langkah-langkah yang dilahirkan supaya kita bisa mengontrol produk- produk jurnalisme yang mengandalkan clickbait," ujar Meutya dalam acara virtual, Minggu malam.
Dengan perkembangan teknologi digital, media berlomba-lomba mendapatkan click yang banyak di dunia maya agar bisa mendapatkan lebih banyak pembaca serta iklan.
Baca juga: Pentingnya peran masyarakat untuk tangkal hoaks dan disinformasi
Sayangnya kerap kali praktik "clickbait" itu membuat berita yang dihasilkan jauh dari kualitas insan pers yang baik dan benar.
Praktik ini pun cukup banyak diadopsi oleh media-media di Indonesia dan judul yang terdapat di berita seringkali tidak sesuai dengan isinya karena judul yang dibuat seringkali terlalu bombastis dan melebih-lebihkan kondisi sebenarnya.
Untuk itu, Meutya yang juga pernah berprofesi sebagai jurnalis sebelum menjadi anggota dewan berharap agar praktik ini bisa dikontrol oleh Dewan Pers sebagai lembaga yang diamanatkan negara melindungi dan mengembangkan insan pers Tanah Air.
"Sejak digitalisasi, kami (DPR RI) melihat ada penurunan kualitas. Mungkin ada beberapa media massa yang berhasil menjaga kualitasnya, namun banyak perusahaan pers yang belum karena banyaknya daya saing mengingat media di Indonesia sangatlah banyak. Jadi kami harapkan ini semua bisa diawasi oleh Dewan Pers sehingga semakin banyak media yang terverifikasi dan terjadi peningkatan kualitas SDM dari pers Indonesia yang menjadi salah satu tantangan kita ke depan," ujar Meutya.
Baca juga: Hari Penyiaran, Kominfo ingatkan lagi jangan mudah percaya hoaks
Ia turut menyebutkan salah satu tantangan lainnya bagi insan pers Indonesia menjaga kualitas dan kebebasannya adalah hoaks atau informasi yang tidak benar.
Di masa pandemi, hoaks semakin marak dan bahkan lebih terkenal dibandingkan fakta yang ada di masyarakat.
Kehadiran hoaks lebih mudah diterima masyarakat karena seringkali penyebarannya dilakukan lewat media sosial.
Di samping itu, kondisi tersebut semakin diperkuat dengan masyarakat Indonesia yang lebih percaya media sosial dibanding media arus utama.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Multimedia Nusantara (UMN) terkait Persepsi Publik terhadap Pemberitaan COVID-19 lewat media hingga Juni 2021 didapatkan fakta bahwa masyarakat Indonesia paling banyak menjadikan media sosial sebagai referensi terpercaya untuk mendapatkan informasi mengenai COVID-19, disusul oleh portal berita atau media daring, dan di tempat ketiga diduduki oleh televisi.
Dengan fakta itu maka tidak heran ada banyak hoaks yang sampai ke masyarakat karena dengan mudahnya bertebaran di media sosial.
Oleh karena itu, ia berharap pers di Indonesia bisa kembali pada koridornya memberikan informasi yang akurat, tepat, dan kredibel dengan praktik jurnalisme yang benar sehingga hoaks tidak lagi dapat mengganggu kondisi masyarakat dan bernegara.
"Kita bisa mendorong peran pers ini, untuk mengedukasi terkait informasi seputar COVID-19 pada khalayak luas sehingga hoaks ini bisa dilawan," tutupnya.
Baca juga: Kominfo dorong Dewan Pers hadirkan Hak Cipta Jurnalistik
Baca juga: Menkominfo minta platform media sosial atasi hoaks COVID-19
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021