Badan Standardisasi Nasional (BSN) menilai bahwa Standar Nasiinal Indonesia (SNI) untuk sejumlah produk dan alat kesehatan, di antaranya alat pelindung diri (APD), masker, serta penyanitasi tangan, penting untuk dikembangkan demi menjaga keamanan konsumen.
"SNI menjadi oase di tengah banyaknya jenis dan merek produk serta alat kesehatan (alkes) yang beredar di masyarakat seiring meningkatnya permintaan selama masa pandemi COVID-19," kata Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal BSN Wahyu Purbowasito lewat keterangannya di Jakarta, Selasa.
Wahyu menyebutkan terdapat banyak alat dan produk kesehatan yang tersedia di pasaran dengan fungsi yang secara kasat mata terlihat hampir sama. Padahal, jika diteliti lebih lanjut, ada peruntukan yang berbeda atas masing-masing jenis produk tersebut.
“Misalnya penyanitasi tangan, ada yang untuk medis dan untuk nonmedis. Maksudnya yang nonmedis itu yang kita gunakan sehari-hari, tapi kalau yang untuk medis itu digunakan di rumah sakit, jadi berbeda,” paparnya.
Selain untuk mendetailkan fungsi produk yang ada di pasaran, SNI juga berfungsi sebagai media jaminan mutu.
Menurut Wahyu, dengan adanya SNI, maka klaim yang disematkan pada produk yang beredar di masyarakat bisa diuji.
Selain itu, produk yang bersertifikat SNI artinya telah memenuhi standar kualitas yang sesuai dengan karakteristik produknya, sehingga dapat menjamin keselamatan dan keamanan bagi konsumen.
Sebagai contoh, di pasaran ada beragam produk hand sanitizer dengan klaim berbeda seperti untuk antibakteri, anti jamur, dan antivirus.
“Adanya klaim yang berbeda ini persyaratannya juga berbeda. Masing-masing jenis produk ini membutuhkan SNI berbeda. Meskipun, kalau kita bicara jenis produknya sama-sama penyanitasi tangan,” ungkapnya.
Di samping produk di atas, Wahyu meneruskan BSN kini sedang menggenjot pembentukan SNI untuk tabung gas oksigen medis serta isinya, khususnya yang berasal dari luar Indonesia.
Tak hanya aturan minimum yang harus dipenuhi, BSN juga tengah mengatur cara pengujian untuk membuktikan apakah produk yang beredar sudah sesuai standar.
“Mungkin peraturannya ada tapi peraturannya tidak bersifat yang kuantitatif atau bisa diukur semacam itu, atau belum ada, kalau belum ada ya kita harus masuk, kalau sudah ada itu bagaimana mendefinisikan itu dengan baik,” pungkas Wahyu.
Baca juga: Bamsoet: Saatnya prioritaskan produk alat kesehatan dalam negeri
Baca juga: Luhut: Produksi alkes dalam negeri bisa hemat hingga Rp300 triliun
Baca juga: Menkes: Hanya 3 persen obat diproduksi di dalam negeri
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021