Menurut Badriyah, saat menjadi pembicara seminar di Jakarta, Kamis, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan wujud negara hadir melindungi korban kekerasan seksual.
“Sejatinya kita bersepakat perlunya undang-undang yang melindungi korban, perlunya undang-undang yang mengisi kekosongan hukum yang dibuat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan undang-undang itu menjadi jawaban atas berbagai persoalan sekaligus tidak menimbulkan multitafsir hal-hal yang tidak diinginkan. Ini pandangan dasar Kongres Ulama Perempuan Indonesia,” kata Badriyah pada acara Seminar Nasional RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Fraksi PPP DPR RI yang berlangsung secara virtual.
Baca juga: Baidowi: Norma Islam jadi acuan PPP dalam RUU PKS
Bagi Kongres Ulama Perempuan Indonesia, DPR RI dan pemerintah wajib segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena peraturan yang ada belum cukup melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan seksual agar tidak kembali berulang.
Ia menegaskan peraturan yang ada saat ini juga masih belum berpihak kepada korban sehingga banyak korban takut bersuara dan kekerasan pun terus terjadi berulang.
“(Kekerasan seksual) banyak terjadi di ruang tersembunyi yang tidak diketahui oleh banyak orang. Korban pun ketakutan sehingga proses hukum (nantinya) perlu didesain sedemikian rupa sehingga menjamin keadilan bagi korban,” kata Ketua MM KUPI.
Dalam kesempatan itu, ia juga menerangkan perlindungan terhadap seluruh warga merupakan bagian dari tujuan syariat Islam, yang juga jadi perhatian utama Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Oleh karena itu, adanya undang-undang yang mengatur soal kekerasan seksual dapat menjadi bukti negara hadir melindungi seluruh rakyatnya, melindungi agama, melindungi jiwa, kehormatan, keluarga, dan keturunan, kata Badriyah.
Baca juga: Tokoh lintas agama dukung DPR segera sahkan RUU PKS
Di samping korban, ia berpendapat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga perlu mengatur pemulihan dan rehabilitasi pelaku.
Pasalnya, UU yang nantinya mengatur soal kekerasan seksual perlu memastikan pelaku memahami kesalahannya dan tidak mengulang perbuatannya selepas menjalani hukuman.
Dengan demikian, Kongres Ulama Perempuan Indonesia berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat disusun secara komprehensif dan tidak menimbulkan kerumitan dan ragam tafsir ke depannya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 sebagai RUU inisiatif dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Namun, RUU itu tidak masuk dalam daftar tujuh RUU yang akan diprioritaskan oleh DPR RI untuk diselesaikan tahun ini apabila merujuk pada pidato Ketua DPR RI Puan Maharani pada Rapat Paripurna I Masa Sidang I Tahun 2021-2022 di Jakarta, Senin (16/8).
Baca juga: Baleg gunakan pendekatan sosiokultural atasi beda pendapat RUU PKS
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Realisasi UU PKS harus jadi perjuangan bersama
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021