Ekosistem klaster padi ini akan efisien apabila masing-masing pihak dalam mata rantai bisnis ini bisa mendapatkan supply yang sesuai dengan kebutuhannya, ...
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menegaskan komitmennya dalam mendukung pengembangan ekosistem padi untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Ekosistem klaster padi ini akan efisien apabila masing-masing pihak dalam mata rantai bisnis ini bisa mendapatkan supply yang sesuai dengan kebutuhannya, secara tepat waktu dan tepat jumlah,” ujar Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Menurut Amam, apabila ada salah satu pihak di ekosistem padi yang terhambat maka akan mengganggu pelaku usaha lainnya dalam ekosistem tersebut. Oleh karena itu, BRI selalu berkomitmen pada sektor UMKM, termasuk pertanian dan rantai pasoknya.
Baca juga: Akademisi: Pertanian jadi penyelamat dalam kondisi pandemi
Hingga Triwulan II 2021, BRI telah menyalurkan kredit kepada sektor pertanian sebesar Rp117,54 triliun atau sebesar 28,03 persen dari penyaluran bank secara nasional untuk sektor pertanian.
“Jumlah tersebut tumbuh 12,8 persen secara year on year,” ujar Amam.
Aman menyampaikan bahwa khusus pembiayaan ekosistem beras dan RMU (Rice Milling Unit) sampai dengan Juni 2021, BRI telah menjangkau 40.798 nasabah yang penyaluran kreditnya mencapai Rp4,1 triliun. Pembiayaan tersebut terdiri dari fasilitas KUR untuk petani, KUR dan Kupedes kepada koperasi dan kios sarana produksi pertanian (saprodi), maupun Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) untuk pengusaha penggilingan padi dan distributor beras.
Pada kesempatan yang sama Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jamhari menyampaikan terdapat dua permasalahan utama dalam bisnis padi. Permasalahan pertama yaitu increasing demand dan decreasing capacity telah terjadi saat ini dan diperkirakan gap-nya akan semakin lebar di masa depan.
“Increasing demand disebabkan pertumbuhan penduduk. Namun hal ini tidak diiringi kenaikan supply, yang disebabkan karena berkurangnya lahan persawahan, berkurangnya profesi petani dan adanya pergeseran ekonomi dari agraris ke non agraris,” jelasnya.
Baca juga: BRI catatkan 5,7 miliar transaksi "e-channel" selama triwulan II 2021
Permasalahan kedua adalah inefisiensi proses produksi dan pengolahan padi yang kebanyakan dilakukan di pulau Jawa oleh petani perorangan dan dengan luas lahan yang terbatas. Lahan yang dimiliki petani rata-rata kurang dari 0,5 ha sehingga menyebabkan produksi padi kurang efisien.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, lanjut Jamhuri, model tata kelola bisnis padi dengan mengimplementasikan Cooperative Farming yang saat ini banyak dijalankan di Indonesia. Yakni tata kelola padi dimana lahan tetap dikuasai petani dan dilakukan penguatan manajemen kelompok tani.
“Kemudian Contract Farming kerjasama antara petani dengan perusahaan mitra yaitu BUMN, BUMD, BUMDES, Swasta, serta Corporate Farming yakni penguasaan dan pengelolaan lahan oleh lembaga berbadan hukum, petani sebagai pemegang saham dan tenaga kerja,” jelas dia.
Baca juga: DPR minta Pemerintah tingkatkan ketahanan pangan antisipasi COVID-19
Di sisi lain Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Perpadi mewakili pengusaha di bisnis padi, menegaskan bahwa padi memiliki korelasi langsung kepada inflasi, sehingga pemerintah memiliki kepentingan untuk menjaga kestabilan pasokan padi dan harga beras.
Menurutnya, permasalahan saat ini adalah masa panen puncak terjadi di musim hujan, sedangkan kapasitas mesin pengering di RMU masih terbatas yakni 94 persen atau 171.495 dari 182.199 RMU berupa skala kecil yang tidak memiliki sistem pengeringan yang baik.
Menurutnya, jumlah RMU sudah over capacity, namun RMU yang ada memiliki keterbatasan teknologi sehingga tidak dapat menghasilkan beras dengan kualitas premium. Hal tersebut menyebabkan potensi susut pasca panen masih relatif tinggi di kisaran 3,25-2,8 persen.
“Diperlukan upaya revitalisasi RMU agar pengolahan beras menjadi efektif dan mampu menghasilkan beras kualitas premium,” tutur dia.
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021