Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengirimkan surat somasi ketiga kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) agar dalam waktu 5 x 24 jam menunjukkan bukti-bukti tuduhan keterlibatan mengambil keuntungan dari peredaran obat Ivermectin dan ekspor beras.Tidak ada alasan untuk berlindung di balik demokrasi tetapi mencemarkan nama orang lain.
"Kami berunding dengan Pak Moeldoko, ya, sudah kalau orang salah siapa tahu mau berubah. Kami berikan kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir kepada saudara Egi, surat teguran ketiga dan terakhir. Kami tegas katakan kami berikan 5 x 24 jam untuk mencabut pernyataan dan minta maaf kepada Pak Moeldoko," kata penasihat hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat.
Somasi pertama Moeldoko dilayangkan pada tanggal 30 Juli 2021, kemudian somasi kedua pada tanggal 6 Agustus 2021.
Dalam kedua somasi tersebut, Otto meminta peneliti ICW Egi Primayogha memberikan bukti-bukti dari mengenai pernyataan soal Moeldoko mengambil rente dari peredaran Ivermectin serta menggunakan jabatannya untuk melakukan ekspor beras.
"Apabila tidak mencabut dan meminta maaf, saya nyatakan dengan tegas bahwa kami sebagai penasihat hukum akan melapor ke polisi," kata Otto.
Otto menyebut Moeldoko sudah memberikan waktu yang cukup kepada ICW untuk menjawab somasi pertama dan kedua. Akan tetapi, dia merasa tidak puas dengan surat jawaban ICW.
Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk berlindung di balik demokrasi tetapi mencemarkan nama orang lain.
"Jadi, kalau sampai tidak minta maaf, kami akan lapor kepada yang berwajib, ke kepolisian. Mudah-mudahan Pak Moeldoko sendiri yang akan melapor ke kepolisian," kata Otto.
Menurut Otto, Egi Primayogha tidak membalas somasi Moeldoko, tetapi yang membalas somasi adalah Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
"Di surat dia disebut sebagai Koordinator ICW saja, bukan kuasa hukum saudara Egi, padahal yang tegas yang memberikan menyampaikan siaran pers dan diskusi publik adalah Egi sendiri dan temannya, jadi perbuatan pidana itu tidak bisa dipindahkan kepada orang lain," ujar Otto.
Baca juga: Otto: Moeldoko siap bertanggung jawab bila ICW tunjukkan bukti tuduhan
Dalam surat balasan ICW tersebut, Otto menilai ICW tidak dapat membuktikan analisis mengenai dugaan keterlibatan Moeldoko dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras.
"Balasan mereka benar-benar melakukan fitnah dan pencemaran nama baik karena mereka mengatakan melakukan penelitian sebelum mengungkap ke media," katanya.
Dalam balasan surat, lanjut dia, ternyata bila dilihat metodologinya tidak ada interview, hanya mengumpulkan data sekunder. Dengan demikian, ini bukan penelitian karena ICW hanya membuat analisis dengan menggabung-gabungkan cerita yang ada di media.
Isi lain surat balasan ICW itu, ungkap Otto, adalah ICW mengakui adanya misinformasi.
"Kalau mereka misinformasi, lalu melontarkan di media massa, sepatutnya mereka meralat atau mencabut pernyataan semula karena sudah merugikan Pak Moel, nama baik sudah telanjur tercemar, tidak bisa entengnya mengatakan misinformasi lalu selesai, harus tegas mencabut dan memulihkan nama Pak Moeldoko," kata Otto.
Dalam konferensi pers ICW pada tanggal 22 Juli 2021 disebutkan bahwa Moeldoko dalam jabatannya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) punya hubungan dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa, yaitu mengadakan program pelatihan petani di Thailand.
Perseroan Terbatas (PT) Noorpay sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara sebagai Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin yang disebut-sebut sebagai salah satu obat COVID-19.
Jejaring itu diduga mencari keuntungan di tengah krisis pandemi lewat relasi politik, apalagi putri Moeldoko, Joanina Rachman, adalah pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Baca juga: Kuasa hukum Moeldoko beri waktu peneliti ICW klarifikasi tuduhannya
ICW juga mengungkapkan pada awal Juni 2021, Ivermectin didistribusikan oleh PT Harsen ke Kabupaten Kudus melalui HKTI.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021