• Beranda
  • Berita
  • BPPT manfaatkan bahan semai flare lokal untuk rekayasa cuaca

BPPT manfaatkan bahan semai flare lokal untuk rekayasa cuaca

20 Agustus 2021 20:11 WIB
BPPT manfaatkan bahan semai flare lokal untuk rekayasa cuaca
Bahan semai flare CoSAT dalam negeri digunakan untuk operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). ANTARA/HO-Humas BPPT.

TMC berbasis flare adalah teknik terkini dalam penyemaian awan

Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan memanfaatkan bahan semai flare CoSAT dalam negeri dalam operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di masa mendatang.

"TMC berbasis flare adalah teknik terkini dalam penyemaian awan dimana pelepasan partikel kimia ke dalam awan dilakukan dengan cara suar atau flare,” kata Perekayasa Ahli Utama BBTMC BPPT Samsul Bahri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Flare CoSAT (Cloud Seeding Agent Tube ) 1000 produksi PT Pindad tersebut telah digunakan dalam operasi teknologi modifikasi cuaca untuk menambah tinggi muka air Danau Toba pada April 2021.

Operasi modifikasi cuaca untuk menambah tinggi muka air Danau Toba tersebut sekaligus menjadi tonggak sejarah terlepasnya Indonesia dari ketergantungan impor flare dari negara lain.

Baca juga: BPPT upayakan transformasi digital UMKM

Produk flare CoSAT yang digunakan sebelumnya dalam operasi TMC diimpor dari Amerika Serikat.

Flare adalah bahan semai yang bersifat higroskopis terbuat dari bahan NaCl dan CaCl2.

Kemudian flare itu akan dibakar dan menghasilkan partikel seperti asap, di mana sifat asap itu ringan sehingga mudah menyebar dan dianggap sebagai medium penghantar material higroskopis ke seluruh bagian awan paling efektif.

Samsul menuturkan BPPT dan PT Pindad (Persero) sebenarnya sejak 2010 sudah berhasil memproduksi flare dalam negeri. Namun, sertifikasi kelaikan baru dikeluarkan November 2020.

CoSAT 1000 sangat praktis, cepat dan mudah dalam operasionalnya. Partikel CCN yang dihasilkan flare atau CoSAT 1000 sangat halus sekitar 0,7–3,3 mikron, dan tidak terjadi penggumpalan bahan semai.

Baca juga: BPPT: Strategi inovasi teknologi wujudkan Indonesia tangguh bencana

Samsul menuturkan kelebihan TMC berbasis flare adalah waktu loading flare CoSAT 1000 hanya beberapa menit siap diterbangkan pesawat, sehingga maksimal dalam mendapatkan "window opportunity" atau menyemai di periode "life time" pertumbuhan awan.

"Faktor ketinggian lokasi bandara tidak berpengaruh, sehingga lebih efektif dan efisien, serta mendukung keberhasilan TMC yang tinggi," ujarnya.

Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT Yudi Anantasena menuturkan potensi TMC dari tahun ke tahun semakin meningkat, terutama potensi TMC berbass flare CoSAT 1000 yang memiliki nilai ekonomis tinggi di masa mendatang, baik untuk memenuhi ketersediaan air waduk atau danau, mencegah bencana hidrometeorologi, dan untuk mendukung peningkatan aktivitas sektor pertambangan.

Selain bidang kebencanaan, peranan TMC berbasis flare diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Baca juga: BPPT lakukan Kaji terap teknologi dukung peningkatan TKDN

Dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, ditetapkan 15 danau prioritas nasional mulai Sumatera Utara hingga Papua.

Koordinator Bagian Umum BBTMC BPPT Budi Harsoyo mengatakan butuh waktu lama untuk pengurusan ijin flare baik penggunaan, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan penggunaan, pemilikan, maupun pemusnahan. Sementara masa berlaku ijin singkat dan harus terus diperpanjang.

Padahal TMC sangat tergantung pada keberadaan awan dan cuaca yang sangat cepat berubah, dan peluang cuaca tersebut sering hilang dan operasi menjadi mundur atau tidak jadi dilaksanakan karena persyaratan dan ijin flare belum selesai.

Menurut Budi, flare TMC meski dikategorikan sebagai handak (bahan peledak), namun bukan termasuk kategori "high explosive", tetapi "low explosive".

"Karena penugasan TMC seringkali bersifat mendadak dan perlu reaksi cepat untuk tujuan darurat bencana, kiranya alur birokrasi perizinan flare dapat dipertimbangkan untuk disederhanakan atau dikecualikan dibandingkan handak lain," tuturnya.

Baca juga: BPPT:Tingkatkan teknologi kecerdasan artifisial peringati HUT ke-76 RI

Kepala BBTMC BPPT Jon Arifian mengatakan TMC berbasis flare itu sudah mulai diuji coba sejak 1999, untuk pengisian daerah aliran sungai (DAS) Larona (Danau Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan.

Kegiatan itu dilakukan melalui kerja sama riset tiga negara saat itu, yaitu Indonesia yang diwakili BPPT, Amerika Serikat yang diwakili Atmospheric Incorporated dan dilanjutkan Weather Modification Incorporated, dan Kanada yakni PT.Inco, Tbk yang memanfaatkan DAS Larona tersebut pada saat itu.

Hingga saat ini, metode flare sudah beberapa kali digunakan dalam operasi TMC baik menggunakan pesawat Piper Cheyenne ataupun dari darat menggunakan menara Ground Based Generator seperti operasi TMC pencegahan banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) lalu dan operasi TMC untuk PLTA dan kebutuhan pertambangan.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan ke depannya teknologi kecerdasan artifisial dan internet of things (IoT) diharapkan dapat membantu BBTMC secara khusus dalam melaksanakan operasi TMC.

Hammam menuturkan kecerdasan artifisial menyediakan suatu evidence-based forecasting terhadap kondisi wilayah daerah target TMC, sedangkan IoT dapat mendukung otomatisasi dalam pelaksanaan TMC terutama TMC berbasis flare/CoSAT 1000 menggunakan metode ground-based generator.

Selain itu, juga telah dijajaki riset penggunaan drone atau pesawat nir awak yang digunakan untuk menghantarkan bahan semai flare CoSAT itu ke dalam awan.

Baca juga: PT INKA dan BPPT siap produksi kereta cepat
 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021