Dalam kapasitas sebagai pengarah Komite Festival Film Indonesia (KFFI), ia segera mengumpulkan pengurus KFFI sambil berkoordinasi dengan pihak Komite Seleksi (KS). Senin (15/11) malam itu juga dia mendapat pengakuan bersalah dari KFFI. Sejurus dengan itu, Deddy juga mendapat pernyataan kesanggupan dari pihak KS memenuhi jumlah film yang lolos seleksi sesuai aturan Pedoman FFI.
Berbekal dua hal penting tersebut, Deddy sang Nagabonar melanjutkan langkah "penyelamatan" FFI dengan menggelar konferensi pers pada Selasa (16/11). Bahkan, dia secara tegas mengambil tanggung jawab dengan memohon maaf atas kesalahan KFFI dan KS, yang menurut Deddy sendiri telah membuat preseden buruk yang akan dicatat sejarah.
Saat konferensi pers, ia hanya didampingi Labes Widar, pejabat Koordinator Bidang FFI yang baru. Pejabat penting KFFI lainnya, seperti Ketua KFFI, Niniek L. Karim, Wihadi Wiharya, Alex Sihar, dan Kahfi Kurnia, tidak tampak hingga acara berakhir.
Begitu pun, langkah bijak Deddy Mizwar mengatasi persoalan FFI belum dianggap tuntas oleh sebagian masyarakat film. Ada orang film yang malah menuduh Deddy mengambil keuntungan dari skandal FFI ini.
Film produksinya, "Alangkah Lucunya Negeri Ini" memang termasuk yang lolos seleksi. Kisruh penilaian KS diramalkan bakal membuat film Deddy Mizwar melenggang dengan menyapu piala-piala FFI karena hampir seluruh film yang lolos seleksi relatif amat lemah.
Banyak yang mengharapkan Deddy seharusnya memelopori penolakan hasil penilaian KS itu, walaupun telah melakukan koreksi. Sebab, juri awal FFI itulah yang terbukti banyak menyalahi aturan Pedoman FFI. Ini demi menjaga kredibilitas FFI.
Antagonis
Kalau kisruh FFI ini diibaratkan film laga, maka anggaplah Deddy Mizwar memerankan tokoh protagonis (jagoan). Lalu siapa yang memainkan peran antagonis (lawan jagoan)? Peran itu agaknya dimainkan oleh Dirjen Nilai Seni Budaya dan Film Kementerian Budaya Dan Pariwisata, Drs. Tjetjep Suparman Msi. Anggotanya adalah Ketua KFFI Niniek L. Karim (art is) dan Sekretaris Wihadi Wiharya (pedagang video), Kahfi Kurnia (ahli pemasaran), Alex Sihar (pembuatnya film).
Ihwal kisruh FFI 2010 sebenarnya sudah terjadi sejak September lalu. Dipicu ketika Dirjen Film itu mereduksi surat penetapan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Ir. Jero Wacik, tanggal 3 September 2010 yang menunjuk Kota Batam sebagai tuan rumah penyelenggara pengumuman Nominasi FFI 2010 di sana.
Dalam pertemuan antara Tim KFFI dengan Panitia FFI Batam di kota itu 25 September lalu, Dirjen Tjetjep hadir. Ia meminta agar panitia mengubah acara FFI 2010 di Batam menjadi tuan rumah penyelenggaraan puncak acara FFI 2010. Usulan itu ditopang oleh hasil keputusan pertemuan antara Niniek L. Karim dan Wihadi Wiharya dengan Panitia FFI Provinsi Riau di Tanjung Pinang.
Padahal, satu bulan sebelumnya, atas persetujuan Menbudpar, Koordinator Bidang FFI- KFFI, Panitia Batam serta RCTI selaku media partner telah menetapkan program dan jadwal pelaksanaan acara FFI 2010. Jadwalnya, pengumuman Nominasi tanggal 28 November di Batam, sedangkan Malam Anugerah tanggal 6 Desember di Jakarta.
Rapat kordinasi KFFI dan Panitia Batam yang dihadiri Dirjen Tjetjep akhirnya berakhir tanpa satu kesimpulan. Persoalannya, antara lain tuan rumah sudah menetapkan anggaran sesuai peruntukan sebagai penyelenggara Nominasi. Itulah yang menjadi penyebabnya ketika acara launching acara FFI 2010 yang dimpimpin langsung oleh Menbudpar, Jero Wacik, pada 28 September 2010 di Jakarta penyelenggaraan FFI tahun ini belum mengumumkan kepastian jadwalnya.
Sejak itu, lebih sebulan lamanya kegiatan persiapan FFI tak berketentuan lantaran perpecahan internal di tubuh KFFI. Dua kubu, yaitu kubu yang konsisten melaksanakan putusan Menbudpar dengan kubu pengikut Dirjen Film terus saja kisruh. Di tengah pertentangan itulah Koordinator Bidang FFI mengundurkan diri.
Pengunduran diri tersebut ternyata tidak mengakhiri konflik internal di tubuh KFFI. Sampai Menbudpar pun turun tangan dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) penunjukan Labes Widar koordinator umum mengganti koordinator Bidang FFI, Dirjen Film dan sekutunya tetap ngotot dengan cara gerilya menggagalkan rencana penyelenggaraan FFI 2010 yang telah ditetapkan oleh Menbudpar.
Suasana kisruh internal di tubuh KFFI yang menjadi penyebab, antara lain mengapa kegiatan penjurian film film peserta FFI 2010, yang merupakan roh FFI terlantar. Akibat lanjutannya, seperti kita ketahui bersama sangat fatal, yaitu tidak mendasarkan kegiatannya pada Pedoman FFI. Komite Seleksi dan KFFI bukan hanya membuat kerusakan FFI yang akan dicatat sejarah menurut istilah Deddy Mizwar, tetapi juga mencemari seluruh wajah perfilman nasional dengan tinta hitam.
Dalam konteks itulah agaknya sebagian masyarakat film menyesalkan langkah Deddy Mizwar yang cukup puas dengan respons KS menambah dua judul film yang lolos seleksi dan permohonan maaf. Sebab hukuman itu tidak setimpal dengan kerusakan yang mereka lakukan.
Bukan film sejarah
Tindakan yang diharapkan masyarakat film adalah membatalkan seluruh hasil KS, membubarkan KFFI, sedangkan para pelaku yang terang terangan melanggar aturan pedoman diadukan secara hukum. Sebab, siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang atau peraih Piala Citra FFI 2010, niscaya tidak bisa menghapus stigma buruk dari hasil kerja buruk KS dan KFFI.
Kesalahan KS dan KFFI bukan hanya sekedar tidak dipenuhinya jumlah minimal jumlah film yang lolos seleksi saja. Hal yang mendasar terletak pada penghakiman dan pencemaran reputasi film "Sang Pencerah" yang mengangkat kisah KH Achmad Dahlan, tokoh besar pendiri Muhammadiyah.
Sebagai film sebenarnya hal yang lumrah jika kalah dalam kompetisi. Namun, penjelasan Ketua KS, Viva Westi, dan Ketua KFFI, Niniek L. Karim, tentang film tersebut telah menyingkap keganjilan keduanya atas film tersebut.
Bacalah Pedoman FFI pasal 2 mengenai "Kategori Film Peserta". Kompetisi yang diikuti film "Sang Pencerah" jelas dalam kategori kompetisi film panjang. Kriteria dalam pasal itu disebutkan, "film cerita panjang adalah film fiksi...".
Semestinya, KS dan KFFI konsisten memperlakukan film itu sesuai kriteria sebagai film fiksi panjang. Apalagi dalam Pedoman FFI tidak ada kompetisi film sejarah. Kenapa pula KS dan KFFI mengadili film itu sebagai film sejarah. Lalu, kalau ada kesalahan interpretasi sejarah, pantaskan yang mengadili itu lembaga KFFI maupun KS?
Padahal, parameter secara universal bagi seorang sineas dianggap berhasil justru terletak pada keberaniannya menyodorkan tafsir dan atau subyektifitasnya atas sesuatu yang bernilai sejarah. Film memiliki hidup, roh, dan logikanya sendiri. Carilah sepanjang sejarah dunia film, niscaya tidak akan pernah lahir film sejarah yang lengkap. (*)
*) Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek; twitter: @ilham_bintang) adalah pengamat film, Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).
Oleh Oleh Ilham Bintang *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010