Singkong Jadi Makanan Korban Merapi

21 November 2010 20:00 WIB
Magelang  (ANTARA News) - Warga Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, korban letusan Gunung Merapi nonpengungsi terpaksa makan  singkong karena persediaan pangan telah habis dan hasil pertanian mereka hancur tertimbun abu vulkanik.

"Sekarang saya berada di posisi yang sangat tidak mengenakkan. Satu sisi harus memenuhi kebutuhan pengungsi, sisi lain warga saya kelaparan," kata Kepala Desa Gantang Kecamatan Sawangan, Muhyat, di Magelang, Minggu.

Warga Gantang, Sawangan yang sebagian besar mengandalkan hidupnya dari pertanian mulai kehabisan cadangan makanan. Padahal stok bantuan di desanya melimpah, namun hanya boleh didistribusikan kepada pengungsi yang menempati desa mereka.

Di Desa Gantang terdapat 400 pengungsi yang berasal dari Desa Krinjing, Babadan, Srumbung dan dari Kabupaten Boyolali. Hampir seluruh kebutuhan pengungsi tercukupi dan bantuan melimpah.

Namun, katanya, 30 persen dari 3.992 warga di desanya harus menderita karena kehabisan cadangan makanan. Dia mengaku tidak bisa membantu warganya karena dibatasi oleh aturan.

"Seluruh bantuan katanya untuk pengungsi. Kalau ada audit nanti saya bisa disalahkan jika melanggar. Padahal warga saya kelaparan," katanya.

Selain makan singkong, katanya, warganya juga mengonsumsi pepaya dan nangka muda. "Bahkan mereka sudah menjurus ke anarkis karena saya dianggap tidak bisa menjadi pemimpin," katanya.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Gondowangi. Kepala desa setempat, Indra Budi Gunawan mengatakan warganya mulai kehabisan bahan makanan karena ratusan hektar lahan pertanian di daerah tersebut rusak.

Dia juga mengaku tidak bisa mendistribusikan bantuan kepada warganya karena terkendala aturan.

Ia menyebutkan, di Desa Gondowangi terdapat sekitar 500 pengungsi dari Desa Sengi Kecamatan Dukun. "Tiap hari bantuan dari donatur datang dan menumpuk di balai desa. Sekarang stok untuk pengungsi berlebih, tetapi warga saya justru tidak bisa menikmati bantuan itu, padahal mereka juga dalam kesulitan" katanya.
(H018/R014)


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010