Menyalakan “kunang-kunang” di antara pekatnya pedesaan malam, tak ubah hal yang mengawang untuk diraih. Pada faktanya, masih sedikit kerlip “kunang” yang mampu menembus menerangi jalan desa.
Lampu rumah pedesaan layaknya kunang-kunang dari kejauhan bukan perkara mudah untuk dibangkitkan di seluruh Nusantara. Luasnya dan dalam pemukiman di tiap pulau, menjadikan pemerataan energi seakan menjadi utopis atau optimistis di tengah kekurangan diri.
Kini, elektrifikasi mulai dijajaki di tiap sudut desa Nusantara, demi bangkitnya kunang-kunang untuk seluruh wilayah. Gagasan datang dari para cendekiawan Indonesia.
Segala jenis pembangkit sudah dicoba, dari batu bara hingga arus laut dalam implementasinya, agar listrik dapat mengalir di pelosok desa dan menghidupkan lampu layaknya kunang-kunang, bahkan membangkitkan sektor perkonomian.
Energi alternatif lain mulai dilirik, dan pesonanya tak kalah dibandingkan dari energi yang sudah ada. Nuklir, hal itu diprediksi menjadi prospek untuk energi masa depan. Di tengah gempuran isu manfaat dan risikonya, menjadikan nuklir menduduki peringkat akhir sebagai altenatif.
Tetapi hal tersebut banyak ditentangkan oleh para pakar nuklir di Indonesia. Meski penelitian bukan hanya tentang teknis menilai nuklir, namun ada penelitian sosial budaya yang membuat isu permukaan terus mencuat dalam popularitas dari dampak negatif nuklir.
“Membahas nuklir, sama saja membahas pisau, bisa menjadi sangat berguna, tapi juga menjadi berbahaya jika menjadi senjata,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Anhar Riza Antariksawan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa stigma-stigma masyarakat terhadap misinformasi dari dampak buruk nuklir masih menjadi tantangan bagi pengembangan teknologi nuklir.
Tak ubah seperti kayu kering dilahap api, informasi tersebut cepat tersambar dan termakan infonya jika hanya memahami mengenai dampak negatif nuklir. Salah satu wilayah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah Kalimantan Barat.
“Kami mendapatkan tugas untuk mengadakan studi di Kalimantan Barat dalam mengembangkan PLTN,” katanya. Bukan asal pilih, Kalimantan Barat menjadi salah satu lokasi pembangunan PLTN.
Di antara semua pulau di Indonesia, Kalimantan merupakan pulau dengan risiko bencana alam kegempaan dan tsunami paling kecil, sebab tidak memiliki garis patahan langsung dan tidak ada gunung berapi aktif.
Pertimbangan tersebut cukup diperhitungkan, sebab PLTN di beberapa negara maju sempat menjadi tragedi karena adanya bencana alam. Kepala BATAN sempat mendapatkan surat dari beberapa Gubernur di Kalimantan untuk mengadakan studi mengenai nuklir dikonversi menjadi energi.
Kalimantan memiliki potensi ekonomi dari industri dan pertanian cukup besar, hanya saja ketersediaan energi masih minim, sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan berbagai jenis industri besar.
Tetapi, jika studi mengenai nuklir berhasil, maka Kalimantan khususnya Kalimantan Barat akan menjadi kekuatan baru penggerak roda ekonomi negara. Serapan tenaga kerja akan maksimal dengan hidupnya berbagai sektor industri di Kalbar.
Dari segi seismik Pulau Kalimantan sudah masuk kategori bagi studi nuklir, dan ditargetkan studi kelayakan akan selesai pada tahun 2025. BATAN sendiri memiliki cadangan uranium sebagai bahan bakar PLTN sebesar 80 ribu ton.
PLTN sendiri adalah pembangkit yang tidak memiliki emisi sisa pembakaran yang besar. Pembangkit energi dari nuklir, adalah pembangkit yang sudah dipikirkan hingga pada pembuangan limbah.
Limbah PLTN hanya mencapai 8 meter kubik dalam periode satu tahun untuk yang sudah terbakar. Dari limbah 8 meter kubik tersebut setara untuk menghasilkan 100 MW elektrifikasi.
BATAN sendiri telah merancang reaktor nuklir generasi keempat berupa High Temperature Gas Reactor (HTGR) atau reaktor berpendingin gas yang dinilai lebih aman ketimbang pendahulunya yang digunakan Jepang untuk PLTN Fukushima.
"Kejadian Fukusihima itu akibat pelelehan bahan bakar. Reaktor generasi keempat ini sudah dijamin tidak akan terjadi pelelehan bahan bakar atau terasnya," ujar Peneliti Senior Batan, Geni Rina Sunaryo.
Reaktor generasi keempat ini menggunakan gas sebagai pendinginnya, berbeda jika dibandingkan dengan generasi ketiga yang digunakan Jepang, yakni berbasis air sebagai pendingin.
Sehingga, kejadian Fukushima tidak akan terjadi kalau kita membangun tipe HTGR.
HTGR atau reaktor generasi keempat memiliki keunggulan ketimbang generasi ketiga. Selain listrik, reaktor ini juga menghasilkan panas untuk mendukung operasional industri kimia. Panas dari hasil energi nuklir bisa digunakan untuk menginisiasi industri seperti produksi gas hidrogen.
Panas yang dihasilkan mencapai 1000 derajat celcius. Ini bisa diaplikasikan untuk industri gas hidrogen, smelter mineral sebelum diolah, dan pengolahan tanah jarang.
Sementara itu, peneliti senior Batan lainnya, Djarot Sulistio Wisnubroto menyatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi emisi karbon khususnya di Indonesia.
"PLTN menjadi salah satu solusi karena energi nuklir memberikan emisi karbon yang sangat rendah dibanding minyak, batu bara atau gas. Bahkan, dibanding beberapa renerable energy," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah telah berkomitmen menekan emisi karbon dioksida dengan menetapkan target tinggi sebesar 29 persen pada 2030, bila mendapatkan bantuan internasional sebesar 41 persen.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Asosiasi Nuklir Dunia (World Nuclear Association), energi nuklir menghasilkan emisi karbon yang setara dengan energi dari tenaga angin.
Energi nuklir hanya menghasilkan 12 gram emisi CO2 per-kWh dari listrik yang dihasilkan. Sedangkan energi batu bara menghasilkan 820 gram emisi CO2 per-kwh.
"Itu (PLTN) menjadi salah satu solusi bagi Indonesia kalau ingin mencapai target Paris Agreement," katanya.
Energi Bersih
Kementerian ESDM tetap berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) selambatnya tahun 2060 atau lebih cepat dengan dukungan dari negara lain.
Pencapaian target tersebut tentu saja membutuhkan dana yang besar dan teknologi yang advance, serta sumber daya manusia yang bisa mendukung.
"Pemilihan teknologi menjadi pertimbangan utama guna memastikan ketersediaan, kemudahan, keterjangkauan, keberlangsungan dan daya saing untuk mencapai kemandirian energi, ketahanan energi, pengembangan berkelanjutan, serta ketahanan iklim dan rendah karbon," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Arifin pun mengemukakan strategi jangka panjang sektor energi yang dilakukan Pemerintah menuju karbon netral.
Pada sisi suplai, strategi yang dilakukan adalah pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), meliputi solar fotovoltaik, angin, biomassa, panas bumi, hidro, energi laut, nuklir, hidrogen, dan battery energy storage systems.
Membangun satu PLTN di Indonesia akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena selain penganggaran yang cukup besar, juga membutuhkan regulasi dan lainnya yang mendukung pembangunan tersebut.
Jika pembangunan PLTN pertama di Indonesia akan dilakukan, maka bisa dimulai dengan pembangkit berkapasitas kecil yang modular pada kisaran angka 100-500 MegaWatt (MW) atau masuk dalam kelas "small medium".
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan9
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021