Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam mengatakan Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp306 triliun per tahun untuk pembangunan rendah karbon.
“Sebesar Rp72,22 triliun harus diterapkan oleh pemerintah dan Rp232,56 triliun oleh dunia usaha,” kata Medrilzam dalam webinar mengenai pajak karbon yang diselenggarakan oleh Tax Centre UI di Jakarta, Senin.
Namun, berdasarkan catatan Bappenas, pemerintah baru memenuhi 8 sampai 11 persen dari kebutuhan pendanaan atau investasi tersebut atau sekitar Rp25 sampai Rp35 triliun per tahun. Karena itu, masih terdapat celah pendanaan pembangunan rendah karbon yang harus dipenuhi pemerintah.
Menurut Medrilzam, celah tersebut bisa dipenuhi dari pengenaan pajak karbon.
“Salah satu yang cukup berpotensi untuk mencapai ekonomi hijau adalah terkait implementasi pajak karbon, sehingga menambah pendapatan negara dan diharapkan dapat mengurangi konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon,” ucap Medrilzam.
Di samping itu, menurutnya pemungutan pajak karbon juga bisa mengurangi biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha, untuk mengatasi kerusakan lingkungan.
“Kelihatan ini belum banyak menjadi prioritas. Mudah-mudahan pengaplikasian pajak karbon bisa secara keseluruhan mentransformasi perekonomian kepada perekonomian hijau, dan mendukung target SDGs (Sustainable Development Goals),” tambahnya.
Ia tidak memungkiri bahwa pengenaan pajak karbon berpotensi meningkatkan harga produk sehingga mengkhawatirkan pelaku usaha.
Untuk itu, pemerintah perlu terus melakukan komunikasi dengan pelaku usaha dan mensosialisasikan bahwa pengenaan pajak karbon dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidup masyarakat ke depan.
Baca juga: Stafsus Menkeu pastikan pajak karbon tidak bebani pelaku usaha
Baca juga: Bappenas: Pajak karbon alat menuju Indonesia Emas 2045
Baca juga: DJP: Pajak karbon untuk kurangi emisi sampai 29 persen pada 2030
Baca juga: Atasi perubahan iklim, Pemerintah siapkan Perpres atur ekonomi karbon
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021