Kece, adalah seorang YouTuber yang membuat kehebohan karena konten-konten produksinya menjurus pada ujaran kebencian, penistaan agama, dan penghinaan simbol agama.
Hampir serupa, Yahya Waloni kerap menjadi perhatian sebagai penceramah yang dikenal keras dalam menyampaikan dakwah dan tidak jarang menyinggung agama lain.
Di hilir, apresiasi harus diberikan kepada aparat Kepolisian yang bergerak cepat mengamankan Kece dan segera memroses kembali laporan sekaligus menangkap Yahya Waloni dalam waktu yang berdekatan.
Hukuman pidana penjara minimal enam tahun telah menanti Kece dan Yahya Waloni yang dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 156a KUHP.
Akan tetapi, isu penistaan agama, ujaran kebencian, dan intoleransi seolah terus menjadi wacana publik yang masih belum bisa terhindarkan di tengah pesatnya penyebaran serta penerimaan informasi melalui dunia maya.
Upaya preventif juga menjadi penting untuk membentengi sejak awal keberadaan sosok kontroversial maupun berbagai dampak yang ditimbulkannya.
Baca juga: Endie: Langkah nyata merajut Kebhinekaan NKRI harus jadi inspirasi
Baca juga: Ketua DPD RI ingatkan pentingnya toleransi-solidaritas hadapi pandemi
Jika diidentifikasi, paling tidak terdapat dua karakteristik mendasar dari sosok serta narasi Kece maupun Yahya yang cenderung meresahkan hingga mengancam toleransi, yakni penafsiran teologis sempit dan tendensi eksklusivitas.
Bahkan, karakteristik semacam itu sering kali berulang dan tersemat pada sosok-sosok yang melakukan kontroversi serupa.
Keharusan menutup ruang
Salah satu diskursus mengenai toleransi dan intoleransi nyatanya telah sejak lama menjadi perhatian khusus filsuf dan pemikir kelahiran Austria-Hungaria, Karl Raimund Popper.
Dalam bukunya "The Open Society and Its Enemies" yang dipublikasikan pada tahun 1945 silam, Popper mengemukakan sebuah gagasan, yakni "paradoks toleransi". Dia menjelaskan bahwa toleransi yang tidak terbatas akan mengarah pada tergerus dan lama-kelamaan dapat menghilangkan toleransi itu sendiri.
Toleransi tanpa batas, bahkan kepada pihak-pihak intoleran, pada akhirnya dapat menghancurkan toleransi dan kelompok toleran apabila tidak ada kesiapan untuk membela masyarakat toleran dari serangan mereka yang intoleran.
Sederhananya, jika menoleransi kelompok dan pihak intoleran, maka hal tersebut akan bermuara pada hilangnya toleransi. Apa yang dikemukakan Popper lebih dari 70 tahun lalu itu pun memiliki relevansinya hingga hari ini.
Pelajaran penting yang dapat direfleksikan dalam kehidupan masyarakat saat ini adalah dengan tidak memberikan ruang atau bahkan bersimpati kepada kelompok maupun pihak yang gemar melakukan bentuk-bentuk intoleransi, seperti merendahkan kepercayaan berbeda dengan yang diyakininya, mengganggu aktivitas peribadatan kelompok tertentu, hingga menebar ancaman bagi kelompok lain.
Selain itu, intoleransi juga dapat menjadi pemicu bagi tindakan-tindakan lain seperti radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme.
Sekali lagi, menutup ruang bagi berbagai bentuk intoleransi, termasuk di ranah media sosial, bertujuan agar toleransi dan keleluasaan masyarakat dalam berkeyakinan dan beribadah dapat terus terjaga serta tidak digantikan oleh intoleransi, bahkan kebencian dan tindakan merusak lainnya.
Tidak memberikan ruang bagi intoleransi di Indonesia telah dan selalu diupayakan oleh berbagai pihak dalam rangka pencegahan serta pemberian hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menangkal bersama
Indonesia memiliki sejumlah pengalaman ketika berhadapan dengan dampak intoleransi yang telah berada dalam tingkat terburuk. Setidaknya, sejumlah terorisme yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, awal tahun 2000-an, serta tindakan serupa dalam beberapa tahun belakangan dapat menjadi cerminan bagi pentingnya sinergi untuk meredam segala perilaku yang menjurus pada intoleransi.
Pada bulan April 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa pemerintah tidak akan berkompromi terhadap tindakan intoleransi yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Sementara Wakil Presiden Ma'ruf Amin kembali menekankan bahwa kerukunan antarumat beragama merupakan bagian dan unsur utama dari kerukunan nasional saat berkunjung ke Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, Jakarta, pada hari Jumat (27/8).
Baca juga: Ajarkan toleransi dan kebhinekaan kepada anak sejak dini
Baca juga: Budayawan: Arus utamakan nilai toleransi saat pandemi
Sikap tersebut menjadi komando positif dari para pemimpin untuk menggugah upaya bersama mencegah dan meredam tindakan-tindakan intoleransi serta selalu menjaga kerukunan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily turut mengajak masyarakat untuk menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama dengan saling menghormati keyakinan masing-masing.
Pada saat bersamaan, dia juga menyebut bahwa Indonesia adalah negara yang melindungi kebebasan umat beragama. Siapa pun warga negara yang menghina serta menistakan agama, harus berhadapan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan serta peran aktif Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang berisi tokoh lintas agama di berbagai wilayah Indonesia juga merupakan visualisasi nyata dari toleransi, tidak hanya dalam kehidupan beragama tetapi dalam ranah sosial bermasyarakat.
Seiring dengan upaya bersama menjunjung toleransi yang turut datang dari berbagai elemen masyarakat secara inklusif, optimisme hadir untuk menangkal intoleransi serta hidup berdampingan dalam perbedaan.
Dalam perjalanannya, upaya bersama tersebut harus dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang konsisten dan merata dalam mengatur aspek sosial keagamaan masyarakat.
Melawan narasi intoleran di dunia maya juga menjadi tugas yang wajib dilakukan semua pihak agar berbagai perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antarumat beragama dapat dicegah sedini mungkin.
Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021