Jaksa Agung RI Burhanuddin Sanitiar meminta agar jaksa menjadi penegak keadilan restoratif ( penyelesaian di luar pengadilan) dan harus mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat.Saya ingin Kejaksaan di kenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati hurani dan penegak keadilan restoratif
"Saya ingin Kejaksaan di kenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati hurani dan penegak keadilan restoratif," kata Burhanuddin dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Bidang Tindak Pidana Umum Tahun 2021 secara virtual dari Gedung Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh Jaksa Agung RI, hasil evaluasi sejak diberlakukannya keadilan restoratif pada 22 Juli 2020 sampai dengan 1 Juni 2021, terdapat sebanyak 268 perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.
Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas.
Baca juga: Jaksa Agung ingatkan jajaran terapkan hukum berdasarkan hati nurani
"Data ini seharusnya membuat kita tersentak karena ternyata selama ini banyak pencari keadilan dan banyak perkara-perkara seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang tidak diekpos oleh media yang telah mendapat perlakuan hukum yang tidak pantas dan tidak seyogianya diteruskan ke pengadilan," ungkap Burhanuddin.
Jaksa Agung mengingatkan, tugas membawa perkara di pengadilan adalah para jaksa selaku pemilik asas 'dominus litis'. Artinya jaksa adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, kata Burhanuddin, merupakan suatu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum. Diskresi penuntutan akan melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang hendak dicapai.
"Ingat, tugas jaksa sebagai penegak hukum adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan menghadirkan kemanfaatan hukum kepada masyarakat," terangnya.
Untuk itu, Burhanuddin meminta kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar laporan penanganan perkara keadilan restoratif ini dilakukan secara berkala setiap bulan dan disampaikan kepada masyarakat atas capaian kinerja penuntut umum ini dengan bekerja sama dengan Pusat Penerangan Hukum.
Baca juga: Polri mengedepankan keadilan restoratif tangani perkara dr Lois Owien
"Saya tidak membutuhkan Jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan saya juga tidak butuh Jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para Jaksa yang pintar dan berintegritas. Saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat," kata Burhanuddin.
"Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam 'text book', tetapi ada dalam Hati Nurani. Sumber dari hukum adalah moral. Dan di dalam moral ada Hati Nurani. Jangan sekali-kali menggadaikan Hati Nurani karena itu adalah anugerah termurni yang dimiliki manusia dan itu adalah cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang," kata Burhanuddin seraya menambahkan.
Burhanuddin menambahkan, pembahasan isu aktual yang perlu dicermati selain penerapan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif adalah penerapan Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika. Pedoman ini memiliki hubungan erat dengan Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
"Saya minta para Jaksa untuk mencermati Pedoman Narkotika, sehingga tidak menyimpangi asas single prosecution system," tutupnya.
Baca juga: Polri selesaikan kasus video hina Palestina dengan keadilan restoratif
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021