Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Rapat Dewan Komisioner, Kamis, memutuskan untuk memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama satu tahun dari semula sampai dengan 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023.rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) meningkat dari 3,06 persen di Desember 2020 menjadi 3,35 persen di Juli 2021
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis malam, mengatakan keputusan ini diambil untuk menjaga momentum percepatan pemulihan ekonomi dan stabilitas perbankan, serta kinerja debitur yang sedang restrukturisasi dan sudah membaik.
Baca juga: OJK catat restrukturisasi kredit turun jadi Rp778,91 triliun
"Restrukturisasi kredit yang kami keluarkan sejak awal 2020 telah sangat membantu perbankan dan para debitur termasuk pelaku UMKM. Untuk menjaga momentum itu dan memitigasi dampak dari masih tingginya penyebaran COVID- 19 maka masa berlaku relaksasi restrukturisasi kami perpanjang hingga 2023,” kata Wimboh.
Perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPRS.
Baca juga: OJK catat pertumbuhan kredit perbankan 0,5 persen di Juli 2021
Hingga saat ini, Wimboh mengklaim, perbankan terus melanjutkan kinerja yang baik, seperti pertumbuhan kredit yang positif mulai Juni 2021, dan risiko pembiayaan (loan at risk/LaR) yang menurun namun masih berada pada level relatif tinggi.
Sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) meningkat dari 3,06 persen di Desember 2020 menjadi 3,35 persen di Juli 2021.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan kontra-siklus (countercyclical), dan menjadi salah satu faktor pendorong untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum.
Baca juga: Restrukturisasi kredit makin landai, BRI optimistis ekonomi pulih
“Perpanjangan restrukturisasi hingga 2023 diperlukan dengan tetap menerapkan manajemen risiko, mengingat adanya perkembangan varian delta dan pembatasan mobilitas, sehingga butuh waktu yang lebih bagi perbankan untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan bagi debitur untuk menata usahanya agar dapat menghindari gejolak ketika stimulus berakhir,” kata Heru.
Penerapan manajemen risiko dalam relaksasi restrukturisasi, kata Heru, tetap menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini yang terdiri dari:
- Kriteria debitur restrukturisasi yang layak mendapatkan perpanjangan. Penerapan self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan, masih memiliki prospek usaha, dan oleh karena itu layak mendapatkan perpanjangan.
- Kecukupan pembentukan CKPN. Terhadap debitur-debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah diberikan restrukturisasi pada tahap pertama, bank diminta mulai membentuk CKPN.
- Prasyarat Pembagian Deviden. Dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen, agar mempertimbangkan ketahanan modal atas tambahan CKPN yang harus dibentuk untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
- Stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas Bank.
Ketentuan lengkap mengenai kebijakan perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini akan dimuat dalam POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Stimulus COVID-19 yang akan segera diterbitkan.
Rapat Dewan Komisioner OJK juga memutuskan untuk mengeluarkan POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Kebijakan Stimulus BPR/BPRS.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021