Jakarta (ANTARA) - Membicarakan nuklir, sepertinya tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat awam. Beragam nilai yang terkandung mulai dikupas satu per satu untuk dipelajari dan dikembangkan manfaatnya.
Tak sama dengan banyak kejadian, nuklir kerap diidentikkan dengan ledakan dan radiasi yang berbahaya. Namun, faktanya salah satu kecelakaan pembangkit nuklir yang ada, di Fukushima, Jepang, hanya satu orang yang diumumkan meninggal karena radiasi. Itu pun puluhan tahun setelah kejadian bencana alam di Fukushima.
Berdasarkan data, mayoritas penyebab kematian adalah karena bencana alam, seperti gempa dan tsunami yang bersamaan pada waktu itu.
“Sebenarnya kejadian di beberapa PLTN di luar negeri seperti Fukushima dan Chernobyl hampir keseluruhan korban meniggal karena bencana alam dan kecelakaannya, bukan pada faktor radiasi nuklir,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Anhar Riza Antariksawan kepada Antara.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa stigma-stigma masyarakat terhadap missinformasi dari dampak buruk nuklir masih menjadi tantangan bagi pengembangan teknologi nuklir.
Tak ubah seperti kayu kering dilahap api, informasi tersebut cepat tersambar dan termakan infonya jika hanya memahami mengenai dampak negatif nuklir. Salah satu wilayah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah Kalimantan Barat.
“Kami mendapatkan tugas untuk mengadakan studi di Kalimantan Barat dalam mengembangkan PLTN,” katanya. Bukan asal pilih, Kalimantan Barat menjadi salah satu lokasi pembangunan PLTN.
Di antara semua pulau di Indonesia, Kalimantan merupakan pulau dengan risiko bencana alam kegempaan dan tsunami paling kecil, sebab tidak memiliki garis patahan langsung dan tidak ada gunung berapi aktif. Pertimbangan tersebut cukup diperhitungkan, sebab PLTN di beberapa negara maju sempat menjadi tragedi karena adanya bencana alam. Kepala BATAN sempat mendapatkan surat dari beberapa Gubernur di Kalimantan untuk mengadakan studi mengenai nuklir dikonversi menjadi energi.
Kalimantan memiliki potensi ekonomi dari industri dan pertanian cukup besar, hanya saja ketersediaan energi masih minim, sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan berbagai jenis industri besar. Tetapi, jika studi mengenai nuklir berhasil, maka Kalimantan khususnya Kalimantan Barat akan menjadi kekuatan baru penggerak roda ekonomi negara. Serapan tenaga kerja akan maksimal dengan hidupnya berbagai sektor industri di Kalbar.
Dari segi seismik Pulau Kalimantan sudah masuk kategori bagi studi nuklir, dan ditargetkan studi kelayakan akan selesai pada tahun 2025. BATAN sendiri memiliki cadangan uranium sebagai bahan bakar PLTN sebesar 80 ribu ton. Namun, Kepala BATAN menjelaskan hal itu bukan persoalan ketersediaan uranium, sebab uraniumpun mudah didapatkan dari impor dengan harga yang lebih murah daripada batu bara.
PLTN sendiri adalah pembangkit yang tidak memiliki emisi sisa pembakaran yang besar. Pembangkit energi dari nuklir, adalah pembangkit yang sudah dipikirkan hingga pada pembuangan limbah. Limbah PLTN hanya mencapai 8 meter kubik dalam periode satu tahun untuk yang sudah terbakar. Dari limbah 8 meter kubik tersebut setara untuk menghasilkan 100 MW elektrifikasi. “Itu harus disimpan lama dan bisa ditangani dengan baik limbahnya, jauh lebih buruk dibandingkan pembangkit listrik lain yang memiliki emisi atau limbah tinggi,” katanya.
Dari sisi survei lainnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Badan Litbang ESDM teleh menyelesaikan survei pendahuluan (recognize survey) geologi kelautanpada calon tapak pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di pesisir pantai Provinsi Kalimantan Barat.
Beberapa pihak yang digandeng untuk menyiapkan pemetaan survei, antara lain Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Universitas Tanjungpura, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) serta nelayan setempat.
Peralatan yang akan dipasang di perairan meliputi current meter, wave rider, dan tide gauge. Tim juga memerlukan pembuatan bagan untuk penempatan peralatan dan orientasi batas wilayah survei geologi kelautan ini.
Survei geologi kelautan pada studi tapak di Kalimantan Barat merupakan bagian fase pertama pra proyek pembangunan PLTN. Ruang lingkup pekerjaan terdiri dari analisis data geofisika, geologi, oseanografi, lingkungan, dan geohazard. Beberapa kegiatan survei yang dilakukan di antaranya pengukuran morfologi dasar perairan, kaakteristik pantai, kualitas air laut, kualitas sedimen laut hingga bahaya geologi kelautan.
Inovasi
BATAN sendiri telah merancang reaktor nuklir generasi keempat berupa High Temperature Gas Reactor (HTGR) atau reaktor berpendingin gas yang dinilai lebih aman ketimbang pendahulunya yang digunakan Jepang untuk PLTN Fukushima.
"Kejadian Fukusihima itu akibat pelelehan bahan bakar. Reaktor generasi keempat ini sudah dijamin tidak akan terjadi pelelehan bahan bakar atau terasnya," ujar Peneliti Senior Batan, Geni Rina Sunaryo. Geni mengatakan reaktor generasi keempat ini menggunakan gas sebagai pendinginnya, berbeda jika dibandingkan dengan generasi ketiga yang digunakan Jepang, yakni berbasis air sebagai pendingin.
"Sehingga, kejadian Fukushima tidak akan terjadi kalau kita membangun tipe HTGR," kata dia.
Menurutnya, HTGR atau reaktor generasi keempat memiliki keunggulan ketimbang generasi ketiga. Selain menghasilkan listrik, reaktor ini juga menghasilkan panas untuk mendukung operasional industri kimia. Panas dari hasil energi nuklir bisa digunakan untuk menginisiasi industri seperti produksi gas hidrogen.
"Panas yang dihasilkan mencapai 1000 derajat celcius. Ini bisa diaplikasikan untuk industri gas hidrogen, smelter mineral sebelum diolah, dan pengolahan tanah jarang," katanya.
Senada dengan pemerintah, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhy menilai bahwa PLTN sangat tepat dikembangkan di Indonesia. “Indonesia tepat jika akan mengembangkan nuklir sebagai energi, sebab kita mampu menambang uranium dalam jumlah banyak,” katanya.
Lebih lanjut Fahmi mengatakan, negara maju yang sudah memiliki PLTN belum tentu memiliki tambang uranium, meskipun uranium mampu dibuat dan diolah. Tentu saja akan menjadi nilai tambah jika Indonesia mampu mengolah sendiri.
Selain itu, emisi dari nuklir yang bersih cocok dikembangkan di Indonesia yang memiliki wilayah yang luas. “Saran saya kepada pemerintah, nuklir jangan dijadikan alternatif terakhir, namun memang sudah saatnya dikembangkan untuk dimplementasikan manfaatnya,” kata Fahmi.
Selanjutnya, menurut Fahmi, terkait emisi, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Asosiasi Nuklir Dunia (World Nuclear Association), energi nuklir menghasilkan emisi karbon yang setara dengan energi dari tenaga angin.
Energi nuklir hanya menghasilkan 12 gram emisi CO2 per-kWh dari listrik yang dihasilkan. Sedangkan energi batu bara menghasilkan 820 gram emisi CO2 per-kwh.
"Itu (PLTN) menjadi salah satu solusi bagi Indonesia kalau ingin mencapai target Paris Agreement," katanya.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2021