"LCS ini harus dioptimalkan sehingga transaksi perdagangan dan investasi serta pariwisata antara Indonesia dan Tiongkok bisa menjadi sumber pemulihan ekonomi pascapandemi," ujarnya saat memberikan sambutan pada webinar "Diseminasi LCS Indonesia-China", Rabu.
Ia berharap skema LCS bisa diimplementasikan oleh para pelaku usaha di kedua negara, termasuk transaksi digital.
Apalagi sebelum pandemi, China menjadi penyumbang terbanyak wisatawan asing ke Indonesia dengan rata-rata 2 juta kunjungan per tahun.
Oleh sebab itu, menurut dia, implementasi LCS akan sangat menguntungkan bagi kedua negara.
"Implementasi LCS juga secara tidak langsung akan memperkuat hubungan ekonomi dan politik Indonesia dengan China," ujarnya.
Baca juga: RI dan China mulai implementasi kerja sama mata uang lokal
Ia memaparkan bahwa sepanjang 2020 China menjadi investor asing terbesar kedua di Indonesia dengan nilai 4,8 miliar dolar AS (Rp68,5 triliun), sedangkan perdagangan kedua negara sebesar 78,37 miliar dolar AS.
Pada semester pertama 2021, nilai investasi China di Indonesia mencapai 1,7 miliar dolar AS, sedangkan perdagangan bilateral senilai 64,1 miliar dolar AS atau meningkat 50,3 persen dibandingkan pencapaian periode yang sama pada 2020.
"Sayangnya sebagian besar transaksi perdagangan dan investasi Indonesia-Tiongkok masih menggunakan mata uang US dolar. Dominasi mata uang US dolar dalam transaksi dan perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan mata uang rupiah sering kali mengalami tekanan depresiasi terutama pada periode terjadinya aliran modal keluar negeri dari Indonesia atau saat jatuh tempo pembayaran utang luar negeri yang umumnya juga dilakukan dalam mata uang US dolar," kata Dubes dalam webinar yang dipandu oleh Kepala Bank Indonesia Perwakilan Beijing Arief Hartawan itu.
Kondisi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS yang cukup tinggi itu, kata Djauhari, akan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Baca juga: Indonesia raih penghargaan di pameran wisata Xian China
"Tidak heran jika pergerakan mata uang rupiah terhadap US dollar dalam beberapa periode terlihat lebih fluktuatif, walaupun saat ini sudah jauh lebih stabil," ujarnya.
Kondisi yang fluktuatif tersebut, kata dia, menyulitkan bagi dunia usaha karena nilai mata uang merupakan indikator yang sangat penting dan menentukan kalkulasi usaha.
"Oleh karena itu, semakin fluktuatif pergerakan mata uang akan menimbulkan ketidakpastian dan berimplikasi pada lebih mahalnya biaya transaksi karena untuk menghindari risiko kerugian akibat selisih kurs, maka dunia usaha perlu melakukan lindung nilai atau 'hedging' dengan biaya yang lebih mahal," tuturnya.
Terkait adanya risiko atas fluktuasi mata uang dua negara yang berimplikasi pada biaya bagi dunia usaha itulah dia menyambut gembira implementasi LCS yang diprakarsai oleh Bank Indonesia bersama dengan Bank Sentral China (PBOC).
"Terobosan ini menjadi upaya penting dalam mengefisienkan transaksi pembayaran antara Indonesia dan Tiongkok yang semakin meningkat. Jika sebelumnya nilai mata uang dilakukan dengan cross rate ke US dollar, maka dengan skema LCS penentuan nilai mata uang antara rupiah dengan yuan dapat dilakukan secara langsung. Artinya, ada penghematan bagi dunia usaha terkait biaya kurs itu," kata Dubes Djauhari Oratmangun.
Baca juga: Indonesia jajaki kerja sama infrastruktur kesehatan melalui CGF
Baca juga: Komunitas Nanshan, jejak Indonesia di Fujian China
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021