Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) meminta maaf karena kembali menunda pembacaan putusan terkait gugatan warga negara untuk perkara polusi udara Jakarta.Kemarin juga ditunda, mohon maaf. Sebenarnya ini tidak pantas
Hakim Ketua Saifuddin Zuhri, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis mengatakan harus menunda putusan untuk kedelapan kalinya karena tahap musyawarah atau mempelajari perkara itu masih dalam proses mengingat banyaknya bukti yang diajukan.
"Kemarin juga ditunda, mohon maaf. Sebenarnya ini tidak pantas, kurang sopan untuk disampaikan, tapi karena menunda dari perkara ini, kebetulan saya ada halangan sehingga konsentrasi untuk memusyawarahkan perkara ini tertunda-tunda,"ujar Saifuddin.
Ia menambahkan faktor lain yang menyebabkan sidang putusan tersebut ditunda adalah kondisi hakim anggota Duta Baskara yang sempat terinfeksi COVID-19.
Salah seorang kuasa hukum penggugat Ayu Ezra Tiara merespons penundaan sidang putusan tersebut dengan membuat surat pengaduan ke Komisi Yudisial untuk mencegah adanya potensi korupsi pengadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Kami sebagai tim hukum tidak bisa bilang bahwa 'ya ini sudah pasti ada indikasi atau tidak'. Kami mencegah (potensi korupsi pengadilan) itu sehingga kami membuat di dalam surat pengaduan itu dua permintaan. Meminta pelaporan dugaan pelanggaran kode etik (hakim) dan minta pengawasan," ujar Ayu dalam konferensi pers daring secara terpisah.
Walaupun perkara itu merupakan gugatan warga negara (citizen law suit), tapi jika dikaitkan dengan polusi udara, tentu dapat berpengaruh kepada sektor bisnis.
Salah seorang kuasa hukum penggugat kasus polusi udara Jakarta lainnya, Alghiffari Aqsa, mengatakan bahwa kasus tersebut menimbulkan reaksi beragam dari pemangku kepentingan (stakeholders).
Dia juga menyatakan hal ini meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya menjaga kualitas udara tetap bersih dari polusi.
"Misalnya soal uji emisi berkala, Pemprov DKI sudah merespons. Sudah mulai ada dan mulai ramai. Artinya, sebelum gugatan ini dimenangkan atau diputuskan begitu ya, sebagian pihak juga sudah sadar kalau ini ada masalah dan beberapa hal berusaha mereka kerjakan," kata Alghiffari. "Jangan lupa juga, gugatan ini didaftarkan 4 Juli 2019. Karena gugatan ini, saya yakin betul, 1 Agustus 2019 Gubernur DKI mengeluarkan Instruksi Gubernur 66 Tahun 2019 soal Pengendalian Kualitas Udara. Jadi, ada responsnya," kata Pengacara Publik Alghiffari.
Tergugat dalam kasus itu terhadap sejumlah nama, mulai dari Presiden Jokowi sampai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan,
Salah satu poin menarik dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah Anies ingin memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan.
Anies juga menginstruksikan penyelesaian peremajaan seluruh angkutan umum melalui program JakLingko pada 2020.
DKI merespon
Terkait aturan uji emisi ini, menurut Alghiffari, adalah upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merespons gugatan kliennya terkait perlindungan masyarakat dari polusi udara.
"Soal uji emisi berkala, Pemprov DKI sudah merespons. Sudah mulai ada dan mulai ramai. Artinya, sebelum gugatan ini dimenangkan atau diputuskan begitu ya, sebagian pihak juga sudah sadar kalau ini ada masalah dan beberapa hal berusaha mereka kerjakan," kata Alghiffari.
Sehingga, apa pun keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap gugatan yang dilayangkan Koalisi Ibu Kota, mau dikabulkan atau ditolak, ini justru mendorong kualitas udara di Jakarta menjadi lebih baik dan menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya yang ingin menggugat hak-haknya untuk mendapat udara yang bersih.
Sejumlah individu yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) resmi melayangkan gugatan warga negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2019).
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021