Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) meminta pemerintah untuk memberikan relaksasi kepada industri hasil tembakau (IHT) dengan tidak menaikkan cukai pada 2022, karena IHT masih membutuhkan 3 tahun untuk memulihkan diri.Tarif cukai yang naik secara eksesif membuat pelaku IHT sulit untuk mempertahankan produksinya. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya pandemi COVID-19, yang memaksa pelaku IHT untuk melakukan sejumlah efisiensi.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan kenaikan cukai pada tahun 2020 dan 2021 memberikan dampak signifikan terhadap IHT, sehingga produksi rokok legal menurun hingga sebesar 60 miliar batang.
"Tarif cukai yang naik secara eksesif membuat pelaku IHT sulit untuk mempertahankan produksinya. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya pandemi COVID-19, yang memaksa pelaku IHT untuk melakukan sejumlah efisiensi," katanya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Wamenkeu paparkan empat faktor kebijakan cukai hasil tembakau
Bila Pemerintah kembali menaikkan tarif cukai secara eksesif tahun depan, lanjutnya, dikhawatirkan pelaku IHT tidak mampu bertahan yang dampaknya mengancam mata pencaharian hampir 6 juta tenaga kerja dalam mata rantai IHT.
"IHT bukan hanya industri yang padat karya namun juga padat aturan. GAPPRI berharap nanti ada omnibus law khusus untuk IHT," katanya.
Henry juga berharap akan ada peta jalan (roadmap) IHT yang berkeadilan yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tapi juga memberikan exit strategy bagi IHT.
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah bijak terkait rencana kenaikan CHT
Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto mengatakan IHT adalah agro industri yang menggerakkan ekonomi di pedesaan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
"Kami mendukung penuh wacana tidak menaikkan cukai, namun kami juga berharap wacana ini juga dapat menyejahterakan petani," katanya dalam dialog publik virtual dengan tema: "IHT: Merdeka atau Mati?"
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwa banyak intervensi asing yang ingin menghilangkan IHT Indonesia.
"Agenda global ini kemudian masuk ke peraturan di banyak negara. Ini membuat seakan-akan tembakau itu hanya urusan kesehatan saja. Padahal ada buruh, petani, dan lain-lain," ujarnya.
Baca juga: Akrindo: Kenaikan cukai rokok berdampak pada sektor ritel dan UKM
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintemgar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menyampaikan usulannya untuk tidak menaikkan cukai rokok, karena ekonomi IHT masih belum pulih, dan jika cukai tetap dinaikkan, rokok ilegal akan semakin meningkat peredarannya.
"Kami juga mendorong kesejahteraan petani ditingkatkan melalui DBHCHT (dana bagi hasil cukai hasil tembakau) dan terus mendorong pembatasan importasi tembakau dan kemitraan komunitas petani agar petani tembakau kita semakin sejahtera,” ungkap Edy.
Menurutnya, belum waktunya melakukan revisi PP 109 Tahun 2012, selain itu sistem 10 layer yang diterapkan merupakan sistem yang paling adil.
Senada dengan itu Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Atong Soekirman menilai regulasi yang mengatur IHT saat ini telah sukses, dan tidak ada urgensi untuk melakukan revisi PP 109 Tahun 2012.
Atong mengungkapkan bahwa Kemenko Perekonomian saat ini sedang menyusun roadmap IHT yang komprehensif. Beberapa pihak telah diundang untuk berdiskusi tentang roadmap ini, dan beberapa waktu ke depan Kemenko Perekonomian akan mengundang Kementerian Keuangan serta Kementerian Kesehatan.
"Penyusunan roadmap yang sedang dijalankan oleh Kemenko Ekonomi adalah untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan semua pihak," katanya.
Menurutnya, angka kenaikan cukai yang ideal adalah 3-8 persen, sebab jika lebih dari itu, peredaran rokok ilegal pasti akan meningkat.
Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021