Pengamat kebijakan energi Fabby Tumiwa mengharapkan adanya jalur komunikasi yang lebih jelas dan transparan kepada dunia industri dan pelaku usaha terkait rencana penerapan pajak karbon.Informasi dan penjelasan dari pemerintah mengenai mekanisme pajak karbon seperti sektor apa saja yang akan dikenakan pajak dan bagaimana cara perhitungan dasar pengenaan pajaknya dapat memberikan ketidakpastian bagi dunia industri
Direktur Eksekutif IESR itu menilai komunikasi dengan pemangku kepentingan ini harus dilakukan mengingat rencana penerapan nilai ekonomi karbon tersebut dapat mendorong daya saing Indonesia di pasar global.
"Informasi dan penjelasan dari pemerintah mengenai mekanisme pajak karbon seperti sektor apa saja yang akan dikenakan pajak dan bagaimana cara perhitungan dasar pengenaan pajaknya dapat memberikan ketidakpastian bagi dunia industri," kata Fabby dalam pernyataan di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan mekanisme penerapan nilai ekonomi karbon melalui kombinasi cap and trade serta pengenaan pajak karbon merupakan cara yang ideal bagi Indonesia untuk mengakselerasi penerapan nilai ekonomi karbon.
Baca juga: Tax Centre UI: Pajak terkait emisi karbon perlu dipetakan
Saat ini rencana penerapan cap and trade sedang dalam proses pembahasan melalui draf Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan penerapan pajak karbon melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam penerapan di industri, cap and trade dan pajak karbon dapat diterapkan untuk sub-sektor yang berbeda dengan memandang efisiensi, efektivitas dan tentunya dampak terhadap keseluruhan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Sebagai contoh, menurut dia, sektor ketenagalistrikan dapat menggunakan skema cap and trade sebagai mekanisme untuk mitigasi emisi karbon, termasuk nantinya pada PLTU milik IPP (swasta). Terlebih lagi skema ini sudah dijalankan secara internal oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada berbagai PLTU.
Baca juga: Bappenas: Pemungutan pajak karbon mesti sederhana
Di sisi lain, penerapan pajak karbon dapat dilakukan pada sektor transportasi, dengan setiap volume bahan bakar fosil yang dijual telah memperhitungkan pajak karbon atas emisi bahan bakar, sehingga perhitungan dan dasar pengenaan pajak karbon bisa menjadi lebih mudah dan transparan.
Sementara itu Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddie Widiono mengingatkan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing Indonesia sehingga penerbitan regulasi terkait hal tersebut harus dilakukan.
Saat ini, tambah dia, konsep daya saing sebuah negara di pasar global telah mengalami pergeseran, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa, tetapi sudah memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa.
"Menunda penerapan nilai ekonomi karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini," ujarnya.
Baca juga: DJP: Pajak karbon untuk kurangi emisi sampai 29 persen pada 2030
Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021