Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, LaNyalla menyatakan Indonesia sebagai bangsa yang besar, harus berani melakukan koreksi atas kebijakan perekonomian nasional. Hal itu tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 hasil amendemen yang dilakukan sejak 1999 hingga 2002 silam.
"Sadar atau tidak, sejak amendemen konstitusi saat itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, telah diserahkan kepada pasar," jelas LaNyalla saat menjadi pembicara utama dalam Rapimnas Kahmi ke-4.
Baca juga: Ketua DPD minta aparat tidak represif sikapi rakyat salurkan aspirasi
LaNyalla menjelaskan dalam skala yang lebih fundamental, DPD RI mendorong amandemen konstitusi dengan kerangka berpikir sebagai negarawan, bukan politisi.
Artinya amandemen konstitusi harus menjadi momentum perbaikan arah perjalanan bangsa dan negara ini. Sebab sebagai negara besar dan tangguh, mutlak harus memiliki industri-industri di sektor strategis, terutama untuk mewujudkan kedaulatan sebagai bangsa.
Menurut LaNyalla, perekonomian nasional saat ini sangat lemah. Dimana faktanya banyak pabrik yang menurunkan volume produksi akibat lesunya pasar, atau bahkan berhenti beroperasi alias tutup.
“PLN mengalami kelebihan pasokan listrik dari sejumlah pembangkit karena tidak terserap ke konsumen. Ini bukti bahwa industri atau sektor manufaktur sebagai penyerap listrik dalam jumlah besar berhenti produksi atau mengurangi volume produksi,” kata LaNyalla menegaskan.
Sedangkan dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lanjut LaNyalla, angka Non Performing Loan atau NPL perbankan Indonesia mengalami peningkatan, rata-rata di atas 3 persen.
Karena memang peningkatan angka pertumbuhan ekonomi kemarin lebih banyak ditopang sektor konsumsi masyarakat, pergudangan, dan penjualan otomotif akibat adanya relaksasi bea masuk.
Baca juga: DPD minta BPOM buat aturan khusus pengembangan jamu Nusantara
“Memang menunjukkan aktivitas peningkatan perdagangan, namun belum tentu berbanding lurus dengan aktivitas industri atau sektor manufaktur dalam negeri. Karena peningkatan aktivitas pergudangan, lebih banyak disumbang oleh aktivitas impor dan ekspor barang hasil bumi dan tambang,” jelas Senator asal Jawa Timur itu.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang kokoh harus dilihat dari indikator Purchasing Managers Index di sektor Manufaktur. Dari situ kata dia, akan menunjukkan dengan jelas, apakah mesin ekonomi berjalan. Sebab bila Industri dan Manufaktur berjalan, berarti supply chain juga berjalan, kredit bank bergulir dengan baik, buruh pabrik terus bekerja, dan tentunya barang yang diproduksi terserap oleh pasar.
Sementara itu terkait penanganan Pandemi COVID-19, LaNyalla menegaskan perlunya hubungan sinergitas yang kuat antara pusat dan daerah untuk menangani dampak kesehatan dan ekonomi.
Menurut LaNyalla, melalui Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) mempunyai target terjadinya keseimbangan antara penanganan di sektor kesehatan dan ekonomi secara bersamaan.
Tak kalah penting, kata LaNyalla, dalam penanganan krisis, semua pihak harus meletakkan interes pribadi, terutama interes bisnis. Dengan mengutamakan kepentingan nasional.
“Di tengah dominasi impor produk terkait kesehatan, beberapa anak bangsa mencoba memproduksi sejumlah alat pendukung medis di tengah pandemi. Kita punya produk ventilator dalam negeri, alat test GeNose, sampai vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara. Namun kenapa produk-produk tersebut belum mendapat kepercayaan dari kita sendiri. Ini harus menjadi catatan kita bersama,” harap LaNyalla.
Baca juga: Ketua DPD apresiasi pengendalian COVID-19 di Jatim
Pewarta: Fauzi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021