Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini memandang penting ada diksi yang tegas menolak wacana masa jabatan Presiden/Wakil Presiden RI tiga periode.Semua pihak yang punya otoritas (Presiden, DPR, DPD, maupun elite politik/pimpinan parpol) mestinya menghindari penghalusan/eufemisme dalam meresponsnya
"Semua pihak yang punya otoritas (Presiden, DPR, DPD, maupun elite politik/pimpinan parpol) mestinya menghindari penghalusan/eufemisme dalam meresponsnya," kata Titi Anggraini dalam webinar LHKP PP Muhmmadiyah bertajuk "Presiden Tiga Periode: Antara Manfaat dan Mudarat", Senin sore.
Selain Titi Anggraini, Ketua PP Muhammadiyah Dr. M. Busyro Muqoddas, M.Hum. tampil sebagai pembicara utama, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, peneliti senior LIPI Prof Dr. Siti Zuhro, dan peneliti senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan UMY Dr. Iwan Satriawan serta Benny K. Harman (politikus Partai Demokrat) sebagai narasumber.
Dalam webinar yang dimoderatori Neni Nur Hayati dari LHKP PP Muhammadiyah, ditegaskan kembali oleh Titi Anggraini bahwa penolakan sejumlah kalangan terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden itu tidak lagi sekadar direspons secara formalitas "kepatuhan berkonstitusi".
"Faktanya teks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga bisa diubah di tengah koalisi mayoritas saat ini," kata Titi dalam webinar yang diikuti sekitar 300 orang dari pelbagai daerah di Tanah Air.
Semestinya, kata Titi, secara tegas menolak bahwa wacana masa jabatan presiden tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu, baik secara substansi maupun filosofis, mengancam kredibilitas demokrasi Indonesia dan bisa menimbulkan krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: PKP dukung komitmen Jokowi tolak wacana tiga periode
Baca juga: Pimpinan MPR: Wacana Presiden tiga periode ubah konstelasi politik
Titi mengemukakan pula bahwa masa jabatan presiden 5 tahun atau maksimal dua periode merupakan buah dari refleksi mendalam atas perjalanan sejarah kepemimpinan politik Indonesia.
"Pergulatan hukum yang dikonstruksi sebagai produk reformasi yang inklusif untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang otoriter dan terpusat pada individu atau mencegah personalisasi kepemimpinan bernegara," tuturnya memaparkan.
Ia menilai masa jabatan maksimal 10 tahun cocok dengan kultur politik di Tanah Air, yakni tidak terlalu pendek bagi presiden untuk bekerja dalam memenuhi janji-janji kampanyenya. Namun, juga tidak terlalu lama untuk memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kinerja dan kepemimpinan presiden yang menjabat apakah layak untuk terus berkuasa ataukah diganti sosok yang lebih tepat.
Masa jabatan dua periode ini, kata dia, menjadi mekanisme kontrol yang memberi insentif pada penguatan kultur kewargaan (civic culture) masyarakat.
Sementara itu, masa jabatan tiga periode merupakan bentuk nyata multiple barriers to entry dalam politik dan pemilu Indonesia selain ambang batas pencalonan presiden maupun ketiadaan calon perseorangan di pilpres.
Menurut dia, hal itu melemahkan regenerasi politik, bahkan makin menghambat kader partai dan warga negara, khususnya kelompok muda dan perempuan, untuk terlibat mengakses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Selain itu, lanjut Titi, akan memperburuk politik dinasti/kekerabatan, baik dalam konteks politik nasional maupun lokal. Masalahnya, masa jabatan yang sangat lama kemungkinan besar untuk mengokohkan kekuatan politik dalam semua lini.
Baca juga: Pengamat: Wacana presiden 3 periode kemunduran reformasi
Baca juga: Hoaks! Jokowi siap pimpin tiga periode
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021