• Beranda
  • Berita
  • Sejarah pengelolaan Blok Rokan, janganlah lupakan pendahulunya

Sejarah pengelolaan Blok Rokan, janganlah lupakan pendahulunya

19 September 2021 21:17 WIB
Sejarah pengelolaan Blok Rokan, janganlah lupakan pendahulunya
Blok Rokan. ANTARA/Try Mustika Hardi.
Pada Senin 09 Agustus 2021 pukul 00.00 WIB PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) resmi menghentikan operasinya di Indonesia setelah 97 tahun berjalan.

Operasi mereka berhenti setelah pemerintah memutuskan Pertamina melalui PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mengambil alih kelola Wilayah Kerja (WK) CPI di Rokan.

WK Rokan menambah panjang daftar alih kelola migas yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Salah satu wacana yang sering didengungkan saat alih kelola adalah nasionalisme hulu migas.

Sejak berlakunya Perpu 44 tahun 1960 semua kegiatan hulu migas berada sebenarnya sudah berada dalam kekuasaan negara.

Butir 5 pada penjelasan umum Perpu dengan tegas menyatakan "Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ini, maka kedudukan perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di Indonesia ini dalam lapangan pertambangan minyak dan gas bumi akan berlainan sama sekali. Perusahaan asing tidak mungkin lagi memperoleh hak-hak pertambangan atas wilayah-wilayah Indonesia yang tertentu. Hanya perusahaan Negaralah yang dapat menguasai suatu wilayah pertambangan minyak dan gas bumi dan hak inipun jauh berlainan dengan hak konsesi yang lama.”

Setelah mengalami proses yang melelahkan selama tiga tahun, maka pada 28 November 1963 dilaksanakan pengesahan perjanjian karya antara Caltex (pendahulu CPI), Stanvac, dan Shell, dengan Trisula dari pihak Indonesia yaitu Pertamin, Permina, dan Permigan.

Namun 61 tahun kemudian kita masih sering mendengar pendapat bahwa hulu migas dikuasai asing dan bahwa Amerika masih berkuasa di bumi Lancang Kuning selama 97 tahun.

Secara filosofis, kontrak karya yang disempurnakan lagi menjadi kontrak bagi hasil pada 1967 adalah bentuk pengakuan atas kekuasaan negara.

Dua Sarjana Hukum muda lulusan Universitas Indonesia (UI) Tirto Oetomo dan Tengku Nathan Machmud dapatlah disebut sebagai penggagasnya.

Kedua pemuda berusia sekitar 35 tahun ini selama berbulan-bulan merumuskan kontrak bagi hasil Offshore North West Java (ONWJ) yang ditandatangani pada 19 Januari 1967.

CPI pun setidaknya tiga kali memperbaharui kontrak dengan pihak Indonesia yaitu kontrak karya pada 28 November 1983, kontrak bagi hasil pada 09 Agustus 1971 dan perpanjangan kontrak pada 09 Agustus 2021.

Kuatnya peran negara membuat CPI yang awalnya mengelola WK "Kanguru" yang sangat luas, mengalami korting dari pemerintah. "Ekor", "tangan" dan "kaki" WK tersebut menjadi beberapa WK yaitu Coastal Plain Pekanbaru (CPP), Langgak, Siak, dan West Kampar.

CPP dan Langgak dikelola oleh perusahaan daerah, West Kampar sempat dipegang swasta nasional, dan Siak dijalankan oleh BUMN. Dengan demikian WK CPP sudah 19 tahun dan Langgak sudah 11 tahun dioperasikan oleh "anak kampung" negeri ini.


Pengembangan Masyarakat

Gedok, Saadi, dan Samingun, adalah tiga nama yang luput dalam perbincangan mengenai perintis dunia permigasan Indonesia.

Ketiga nama itu pun tak tercantum dari delapan orang Indonesia yang menerima penghargaan dalam rangka seabad dunia permigasan Indonesia pada Oktober 1985.

Samingun adalah Chief Surveyor NPPM (pendahulu CPI) yang merintis pembangunan jalan untuk masuknya rig minyak pada 1941. Sedangkan Gedok dan Saadi adalah Driller NPPM yang membantu Toru Oki dan Richard Hopper dalam menemukan lapangan minyak terbesar di Indonesia yaitu Minas pada 1944.

Keberhasilan mereka membuat NPPM, yang semula diplesetkan "Non Producing Petroleum Maatschcappij", merintis pembuatan sebuah "kota" bernama Rumbai pada 1946 yang dilengkapi perkantoran, perumahan, sekolah, pertokoan, pergudangan dan jalan.

Tiga nama di atas adalah permulaan yang di kemudian hari beranak pinak menjadi ribuan putra dan putri Indonesia yang berkiprah hingga saat ini.

CPI menjadi sebuah keluarga besar karena berbagai generasi hidup di dalamnya dan adalah suatu hal yang jamak jika pekerja CPI sekarang adalah anak atau cucu dari pekerja yang terdahulu.

Saat ini beberapa menteri, pejabat, pengusaha, pesohor, dan tentu saja profesional migas, berasal dari keluarga besar ini. Meski ada ribuan bahkan jutaan orang yang hidup dari CPI, namun suara ketidakpuasan terus bergema sepanjang waktu.

Riau adalah "The Place Nobody Wanted" sebelum Samingun, Gedok, dan Saadi, menemukan Minas.

Sulit dibayangkan jika NPPM tidak membangun Rumbai pada 1946 maka mungkin Provinsi Riau sulit diwujudkan.

Lapangan Udara Simpang Tiga yang menjadi titik pijak Kaharuddin Nasution, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi, saat Operasi Tegas 1958, merupakan bandara yang dirintis dan dikembangkan CPI.

Dengan biaya 50 juta dolar pada 1957, desa nelayan Dumai dikembangkan CPI menjadi pelabuhan.

Setidaknya dalam kurun waktu 97 tahun, CPI telah membangun empat peradaban yakni Rumbai, Minas, Duri, serta Dumai.

Selain itu ada pula Jembatan Leighton yang dibangun dengan biaya 3,2 juta dolar AS pada 1977 yang membuat Pekanbaru berkembang pesat seperti sekarang.

Sampai saat ini jalan utama yang membelah provinsi Riau adalah "jalan minyak". Terbentang dari Bangko dan Balam di utara menyusuri pipa minyak menuju Dumai.
Dari Dumai jalan kembali menyusuri pipa menuju Duri dan Minas termasuk Rumbai yang merupakan pusat operasional.

Jalan dan pipa bercabang ke barat menuju Petapahan dan menghadap ke timur mengarah ke Zamrud. Di selatan Provinsi Riau, terbentang jalan utama lain yang pada mulanya digagas oleh perusahaan minyak bernama Stanvac.


Cagar Budaya

Dengan usia pengabdian lebih dari 50 tahun, CPI mewariskan bangunan banyak cagar budaya. Konservasi terhadap bangunan ini perlu segera dijalankan mengingat bangsa kita sering tidak menghargai para pendahulu.

Bisa jadi pada lima atau 10 tahun lagi kita hanya mengenal Pertamina Hulu Rokan, dan melupakan pendahulunya.

Saat alih kelola sekarang pun sudah banyak yang melupakan Caltex meski perubahan nama menjadi Chevron baru terjadi pada 2005. Ingatan bahwa PHR adalah proses panjang dari Chevron, Caltex, dan NPPM, perlu dilestarikan.

Penelitian Sumur Telaga Said yang digagas Museum Negeri Sumatera Utara pada 2011 mungkin dapat dijadikan contoh pelestarian ini. Telaga Said adalah sumur minyak pertama yang ditemukan di Indonesia pada 1885 sehingga menjadi tonggak penting.

Kilang Pangkalan Brandan yang berada tidak jauh dari Telaga Said telah tutup pada 2007 dan meninggalkan puluhan bangunan bersejarah yang terbengkalai.
Jika ingatan tidak dijaga maka generasi muda hanya mengenal Pangkalan Brandan adalah sebuah kecamatan di Langkat.

Migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sehingga peradaban pun mati jika waktunya telah tiba. Artefak migas tampaknya berada di hampir sekujur tubuh ibu pertiwi dari Arun hingga Mamberamo.

Dalam 10 tahun terakhir CPI Rokan, Unocal East Kalimantan, Exxon Aceh, CNOOC OSES, Vico Sanga Sanga, Total E&P Mahakam serta Arco ONWJ telah bersalin rupa menjadi Pertamina.

Kita patut berbangga atas kedigdayaan Pertamina melanjutkan perjuangan para perusahaan asing yang menjadi pendahulunya. Namun janganlah kita melupakan mereka yang telah membangun peradaban "kota" migas sebelumnya

*) Adi Nugroho adalah pemerhati sejarah permigasan

Pewarta: Adi Nugroho *)
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021