"Kalau kita mau mengembangkan riset and development itu harus kolaborasi multidisiplin. Tidak bisa cuma orang teknik. Misal saya butuh alat seperti CT scan, maka nanti alat seperti ini akan saya sampaikan ke medical technique engineering, physical medical engineering. Dia membuat desainnya. Itu dikerjasamakan dengan teknik elektro, teknik mesin. Mereka yang buat. Setelah itu diuji lagi secara klinis di klinik dan kemudian dipasarkan oleh orang ekonomi atau pemasaran," kata Kadir dalam RDP Komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kesehatan yang diikuti di Jakarta, Senin.
Menurut dia, industri kesehatan dalam negeri saat ini belum mampu memproduksi alat kesehatan yang berteknologi tinggi.
"Kita belum mampu memproduksi alat-alat kesehatan dalam negeri yang masuk dalam kelompok teknologi tinggi seperti misalnya MRI, CT scan," katanya.
Industri kesehatan dalam negeri baru mampu menghasilkan alat-alat kesehatan berteknologi rendah. Bahkan komponen alat kesehatan tersebut masih berasal dari luar negeri.
"Kita itu lebih banyak assembling, ganti casing, ganti merk, dianggap produksi dalam negeri. TKDN-nya 40 persen," katanya.
Ia pun meminta semua pihak untuk bekerja sama melakukan riset dan pengembangan agar Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan produk kesehatan dalam negeri secara mandiri.
"Saya kira kalau kita mau betul-betul mandiri dan berdikari di bidang teknologi termasuk obat-obatan. Mau tidak mau yang harus kita kembangkan adalah riset and development. Ini kuncinya,"
Kadir menambahkan untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kerja sama antara perguruan tinggi dan industri.
"RND (riset and development) ini hibridisasi dengan industri, memang harus multi disiplin ilmu, Tidak bisa kalau cuma satu disiplin ilmu," tuturnya.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021