Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tingginya kasus tuberkulosis (penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium tuberculosis) di Indonesia yang berisiko tinggi menulari anak-anak.
“Tingginya kasus TBC di Indonesia ini membuat posisi anak-anak juga berisiko tertular. Terhadap anak-anak, penyakit TBC bisa menyebabkan anak gagal tumbuh, malayse kronis, bahkan kematian,” kata Muhadjir dalam acara Sosialisasi Percepatan Penurunan Stunting dan Penanggulangan Tuberkulosis yang diikuti melalui Youtube Kemenko Official secara daring di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Menko PMK: Menyelesaikan TBC di Indonesia butuh konsentrasi tinggi
Muhadjir menegaskan hal tersebut perlu mendapatkan perhatian, karena penyakit tuberkulosis (TBC) tidak memiliki tingkat kecepatan seperti COVID-19 yang dapat mudah membuat orang curiga serta mudah dideteksi, tetapi gejalanya tidak dapat diremehkan.
Ia mengatakan sering ditemukan pada keluarga golongan bawah menganggap penyakit tersebut bukan permasalahan serius, sehingga tidak melakukan pencegahan sejak dini bagi anak-anak mereka.
“Sering dalam keluarga, terutama yang tidak mampu itu menganggap remeh, misalnya walaupun ibunya atau ayahnya menderita TBC, anak-anaknya tetap berada bersama-sama tanpa ada pencegahan sejak dini untuk mereka,” ujar dia.
Sedangkan kasus kematian akibat TBC pada anak-anak, paling tinggi terjadi pada kelompok umur anak usia balita.
Menurut dia, terdapat lima kelompok anak yang lebih berisiko mengidap penyakit tersebut, yakni anak tinggal dengan penderita TBC, anak dengan status gizi buruk, anak pada usia balita, dan anak belum divaksin BCG, serta anak yang menderita HIV.
Baca juga: COVID sebabkan banyak kematian TBC, AIDS di negara miskin
Baca juga: Kemenkes terapkan strategi khusus penanganan TBC di tengah COVID-19
Ia berharap dengan mengetahui kondisi TBC pada anak-anak di Indonesia, seluruh pihak dapat benar-benar memperhatikan setiap kasus tuberkulosis yang tidak hanya berfokus pada penderita saja, tetapi juga kontak erat dengan orang lain.
“Dengan melihat kenyataan itu, kita harus betul-betul memperhatikan setiap kasus TBC ini tidak hanya berfokus kepada penderita, juga kontak erat atau pergaulan erat dengan si penderita juga harus segera diamankan, kalau tidak, bahaya TBC ini jauh lebih buruk dibanding COVID-19,” kata dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021