DPP PDI Perjuangan memperingati pidato Proklamator RI Soekarno di Markas Besar PBB yang berjudul 'To Build The World A New' pada 30 September 1960 yang lalu.
Peringatan ini diwujudkan lewat talkshow yang ditayangkan langsung di channel youtube resmi PDI Perjuangan, Rabu. Acara itu dirangkai dengan peresmian Patung Bung Karno di Polder Stasiun Tawang, Semarang, yang akan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri, sore nanti. Ratusan kader PDIP dari pusat hingga daerah mengikutinya lewat aplikasi konferensi Zoom.
Di acara peringatan itu, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengajak seluruh rakyat Indonesia, khususnya para anak muda untuk mengingat peristiwa itu demi bisa melanjutkan perwujudan cita-cita pendiri bangsa.
Menurut Hasto, pidato Bung Karno itu memang sangat fenomenal dan dianggap dunia internasional sebagai yang terbaik saat itu.
Lewat pidato itu, kata dia, Bung Karno ingin memaparkan bahwa pada suatu hari, Indonesia merdeka akan menjadi pelopor kemerdekaan dunia yang bebas dari belenggu penjajahan.
Pertama, pidato Bung Karno itu menegaskan konsistensi Indonesia tak berada dalam dua blok besar yang bertikai saat itu. Blok Timur dengan ideologi komunisme/leninisme, dan Blok Barat dengan ideologi kapitalisme/liberalisme.
"Bung Karno selalu menekankan bahwa dalam kedua ideologi itu terkandung benih imperialisme dan kolonialisme yang ditentang Indonesia. Karena itulah Bung Karno menggali dari sejarah Indonesia, dimana sebagai tahapan selanjutnya adalah Pancasila," kata Hasto dalam siaran persnya.
Pancasila bukan saja falsafah dasar, tapi pandangan Indonesia bagi dunia. Di forum PBB, kata Hasto, Bung Karno menegaskan posisi Indonesia yang tak melibatkan diri dalam salah satu blok, namun kita bergerak aktif dan berpihak pada kemerdekaan setiap bangsa.
"Maka politik luar negeri kita tak netral namun memihak. Memihak kemana? Yaitu bergerak aktif membangun persaudaraan dunia, paparnya.
"Maka politik luar negeri kita tak netral namun memihak. Memihak kemana? Yaitu bergerak aktif membangun persaudaraan dunia, paparnya.
Hal kedua yang ditegaskan Bung Karno lewat pidato itu adalah bagaimana penderitaan bangsa Asia-Afrika akibat penjajahan.
Baca juga: Hasto ingin mewarisi semangat Bung Karno dalam usianya ke-55 tahun
"Sehingga diplomat PBB akan makan siang dengan atraksi seni di Sarinah. Sarinah menampilkan seluruh khasanah kebudayaan Indonesia. Itu desain besar Bung Karno. Jadi desainnya bukan hanya memindahkan markas PBB, namun mengganti piagam PBB dengan Pancasila," kata Hasto.
Dia lalu membeberkan bagaimana sila-sila Pancasila adalah yang dibutuhkan dunia untuk benar-benar mencapai perdamaian abadi. Termasuk bagaimana prinsip penyelesaian masalah di PBB tidak lagi dilakukan dengan voting, tetapi dengan musyawarah mufakat sesuai sila keempat Pancasila.
"Pertama kalinya dalam pidato pemimpin negara, Bung Karno mengutip ayat-ayat kitab suci. Baik Alquran maupun Injil. Bung Karno ingin menegaskan bahwa kita sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, harus memperjuangkan perdamaian dunia itu," kata Hasto.
Lalu apa relevansi pidato tersebut untuk masa kini? Hasto mengatakan bahwa idenya masih sangat relevan hingga saat ini, bahwa Indonesia sebagai jembatan bagi pertikaian berbagai blok ideologi.
Baca juga: Akademisi ceritakan kesukaan dan politik kuliner Bung Karno
Baca juga: Akademisi ceritakan kesukaan dan politik kuliner Bung Karno
"Kita sampaikan konsepsi bahwa dunia tak boleh lagi diwarnai imperialisme dan kolonialisme, namun sebuah dialog demi meningkatkan harkat martabat manusia," ujarnya.
Pihaknya melihat bahwa pidato Bung Karno itu seharusnya menginspirasi rakyat Indonesia saat ini agar terus berjuang keras memastikan Indonesia menjadi pemimpin diantara bangsa-bangsa dunia.
"Kepemimpinan Indonesia itulah yang kita ambil spiritnya. Dalam bidang apapun. Kita harus menjadi juara. Kita harus kembangkan sesuatu yang khas Indonesia, namun di saat sama kita jadi pemimpin dunia," ujar Hasto.
Dengan itu, Hasto mengatakan bangsa Indonesia juga harus menjadi bangsa yang "outward looking" atau yang melihat keluar. Bukan local acting dalam pengertian tak punya cakrawala luas.
"Kadang-kadang kita merasa aneh ketika ada elite yang orientasinya masih masa lalu, orientasi menakut-nakuti rakyat dengan masa lalu. Padahal seharusnya melihat masa depan, bagaimana desain kepemimpinan Indonesia masa depan," tegasnya.
Baca juga: Sejarawan ceritakan karakter Bung Karno memimpin yang patut diteladani
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021