"Jalan keluar untuk menuntut pertanggungjawaban terhadap pelaku yang melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah dengan merevisi UU Pengadilan HAM," kata Amiruddin dalam seminar bertajuk "Masa Depan Pengadilan HAM di Indonesia" yang disiarkan di kanal YouTube Humas Komnas HAM RI, Rabu.
Ia mengatakan bahwa terdapat beberapa substansi yang memerlukan revisi, seperti menegaskan pemaknaan kepada unsur-unsur tindak pidana dari kejahatan kemanusiaan, menegaskan relasi antara penyelidik dan penyidik, serta menegaskan makna kata ‘meluas’ dan kata ‘sistematis’ pada Pasal 9 UU Pengadilan HAM.
"Terdapat perbedaan interpretasi atau pemaknaan kepada unsur-unsur tindak pidana dari kejahatan kemanusiaan oleh tiap-tiap majelis. Akibatnya, vonisnya tidak maksimal," ucap dia.
Baca juga: MK tolak permohonan uji UU Pengadilan HAM
Baca juga: MK sarankan DPR lengkapi UU Pengadilan HAM
Selain itu, masih terdapat pihak-pihak yang mempertanyakan kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM. Hal ini menyulitkan Komnas HAM untuk mendapatkan keterangan dari pihak-pihak yang terlibat.
"Komnas HAM menentukan caranya sendiri dalam melakukan penyelidikan sesuai dengan standar yang kami (Komnas HAM, red.) miliki. Kalau tidak bersifat khusus, berarti tidak ada istimewanya kasus ini jika dibandingkan dengan kasus biasa," ujar dia.
Oleh karena itu, Amiruddin berpandangan bahwa pemerintah harus segera merevisi UU Pengadilan HAM. Dengan merevisi UU ini, ia meyakini bahwa beban pengadilan HAM juga dapat melibatkan pihak lain dan tidak hanya bergantung pada Komnas HAM.
Ia berkata, saat ini, Komnas HAM memikul beban dari UU Pengadilan HAM dan tuntutan masyarakat sendirian. Maka dari itu, ia berencana untuk mengajukan kepada pemerintah agar UU Pengadilan HAM dapat direvisi.
"Merevisi UU ini adalah suatu kebutuhan untuk menuntaskan kasus HAM berat," kata Amiruddin menegaskan.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021