• Beranda
  • Berita
  • Rajin raba leher demi pantau kekambuhan kanker tiroid

Rajin raba leher demi pantau kekambuhan kanker tiroid

30 September 2021 11:18 WIB
Rajin raba leher demi pantau kekambuhan kanker tiroid
Ilustrasi - Raba leher. ANTARA/Pixabay.
Mereka yang telah menjalani pengobatan kanker tiroid, perlu tetap memantau kondisi setidaknya 6-12 bulan sekali selama 2 tahun pertama dan pemantauan ini bisa berupa rutin meraba leher setiap bangun tidur demi mendeteksi kekambuhan yang bisa muncul.

Spesialis kedokteran nuklir dari Universitas Padjadjaran, dr. Ryan Yudistiro, SpKN(K) Ph.D, FANMB mengatakan, kekambuhan dan kemungkinan penyebaran biasanya dimulai dari leher, sehingga meraba leher menjadi rekomendasi. Kanker tiroid umumnya menyerang kelenjar tiroid yang terletak tepatnya di bawah jakun, berbentuk seperti perisai. Kelenjar ini berfungsi mengatur metabolisme tubuh dan fungsi lainnya seperti suhu.

"Kita lihat ada kekambuhan atau tidak, ada penyebaran kelenjar getah bening di leher atau tidak karena pertama kali kanker tiroid itu kambuh atau menyebar itu mulai di leher. Coba setiap bangun tidur, raba leher apakah ada benjolan baru atau tidak," ujar dia dalam webinar yang diselenggarapan Vipmed Specialist Team bertajuk "Kanker Tiroid Sudah Menyebar, Harus Bagaimana?", ditulis Kamis.

Baca juga: Maag tak kunjung sembuh setelah pengobatan mungkin gejala kanker hati

Bila benjolan ditemukan, maka pasien perlu berkonsultasi pada dokter yang merawatnya. Selanjutnya, dokter umumnya meminta pasien melakukan pemeriksaan USG leher dan pemeriksaan laboratorium seperti TSH, tiroglobulin antigen sebagai penanda tumor dan tiroglobulin antibodi dan whole body scan bila diperlukan.

Pemeriksaan ini, menurut Ryan untuk mengonfirmasi benjolan yang muncul merupakan kekambuhan, metastasis (penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh ke jaringan tubuh lainnya) atau bukan di antara keduanya.

Kanker tiroid termasuk peringkat 10 besar kanker di Indonesia dan peringkat kelima pada wanita. Sekitar 20 persen pasien berisiko mengalami metastasis dan dari angka ini terdapat perluang terjadinya refrakter atau tidak respon terhadap terapi ablasi iodium radioaktif (RAI).

Saat refrakter terjadi, maka pengobatan yang semula mencakup tiga hal yakni operasi, RAI dan terapi hormon tiroid bisa menjadi lebih rumit. Di sisi lain, angka hidup pasien diprediksi lebih pendek dibandingkan mereka yang merespon baik terapi RAI.

Terapi RAI berfungsi untuk memberikan sisa jaringan tiroid fungsional setelah operasi tiroidektomi total dan menurunkan risiko kekambuhan dan kematian.

Menurut Ryan, sebenarnya tiga pengobatan ini apabila bisa berjalan optimal bisa meningkatkan angka harapan hidup pasien. Hanya saja, ada peluang refrakter yang dikhawatirkan baik itu oleh dokter maupun pasien.

"Kadang kala suka ada yang responnya enggak sempurna, ini disarankan PET/CT," kata Ryan.

Pada mereka yang tidak merespon terapi RAI, maka diusahakan pengobatan ablasi dosis tinggi. Tetapi sebelumnya, dokter biasanya menyarankan rediferensiasi untuk membuka saluran-saluran iodium di sel tiroid yang sempat tertutup. Peluang keberhasilan terapi ini sekitar 50 persen.

Baca juga: Enam jenis kanker yang mengintai wanita

Baca juga: Kanker tiroid sering terjadi pada wanita karena bekerja lebih berat

Baca juga: Anak-anak lebih rentan terkena kanker akibat radiasi

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021