• Beranda
  • Berita
  • PON Papua, antara harmoni nasional dan prestasi olahraga

PON Papua, antara harmoni nasional dan prestasi olahraga

30 September 2021 13:25 WIB
PON Papua, antara harmoni nasional dan prestasi olahraga
Karyawan membersihkan suvenir maskot PON Papua Kangpho dan Drawa dipusat oleh-oleh Abepura, Kota Jayapura, Papua, Kamis (30/9/2021). Suvenir yang terbuat dari kayu susu (Alstonia scholaris (L.) R.Br.) dan fiberglass tersebut dijual dengan harga Rp300 ribu per buah. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj/pri.
Sabtu lusa 2 Oktober, Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 dibuka. Namun berbeda dari SEA Games, Asian Games dan Olimpiade serta kebanyakan turnamen olahraga multicabang lainnnya, dalam PON Papua sudah ada kompetisi perebutan medali sebelum perhelatan olahraga terbesar se-nusantara edisi tertunda pandemi ini dibuka lusa.

Namun, praktik seperti ini tak hanya terjadi saat ini karena paling tidak lima tahun lalu dalam PON Jawa Barat 2016 juga terjadi seperti itu tatkala 75 medali emas diperebutkan sebelum PON 2016 resmi dibuka.

Kalau pada SEA Games, Asian Games dan Olimpiade, sejumlah cabang dimainkan sebelum upacara pembukaan atas pertimbangan cabang-cabang tertentu seperti sepak bola memerlukan waktu kompetisi yang panjang tapi tak sampai menjadi event medali sebelum perhelatan resmi dibuka, maka alasan seperti ini tidak terlalu terlihat pada PON.

Sepertinya tak ada alasan keolahragaan pasti, mengapa kompetisi medali harus dimulai sebelum pembukaan terjadi. Yang terlihat kemudian lebih merupakan pragmatisme berkompetisi, khususnya dalam kaitannya dengan kalkulasi medali.

"Perebutan medali emas lebih awal diharapkan memotivasi atlet lain dalam meraup medali emas lebih banyak lagi," kata Ketua Bidang Pertandingan PB PON Jawa Barat 2016 Yudha M. Saputra, 9 September lima tahun lalu.

Tetapi tak apa, tak semua event harus mengikuti event-event lain yang lebih besar sekalipun umumnya event lebih besar menjadi patokan untuk event-event olahraga berskala di bawahnya.

Alasannya bisa apa saja, termasuk perburuan medali seperti disebut tadi. Bahkan mungkin bisa politis.

Namun jika pun alasan non kompetisi keolahragaan yang mengemuka, maka itu tak terlalu salah, apalagi latar belakang PON kental dengan politik, tidak olahraga semata.

Menilik dari sejarahnya, PON tak bisa dipisahkan dari politik. Adalah Olimpiade 1948 di London yang sedikit banyak berkaitan dengan apa yang kini dikenal dengan PON.

Jauh sebelum PON pertama yang digelar di Solo pada 1948, tahun di mana Olimpiade London digelar, negara muda Indonesia sudah mempunyai organisasi besar keolahragaan. Namanya, Persatuan Olahraga Republik Indonesia atau PORI.

Organisasi ini lahir pada Kongres Olahraga di Solo pada 1946 atau setahun setelah Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Bersamaan dengan PORI, lahir pula Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) yang diketuai Hamengku Buwono IX.


Nation building

Setahun sebelum London menggelar Olimpiade 1948, melalui KORI, PORI mengajukan diri mengikuti Olimpiade pertama pasca Perang Dunia Kedua itu.

Permohonan ini ditolak karena PORI belum diakui IOC dan kemerdekaan Indonesia belum diakui luas oleh dunia, termasuk Inggris yang menuanrumahi Olimpiade 1948.

Inggris malah menyarankan Indonesia agar bergabung dalam kontingen Belanda yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Indonesia.

Indonesia jalan terus dan sebaliknya berusaha unjuk gigi menggelar perhelatan besar olahraga sebagai wujud dari keberdaulatannya.

PORI kemudian menyelenggarakan konferensi di Solo pada 2-3 Mei 1948 yang menelurkan keputusan penting yang menjadi tonggak olahraga nasional, yakni Pekan Olahraga Nasional.

Hanya satu bulan setelah Olimpiade London 1948 selesai 14 Agustus tahun itu, Indonesia pun menggelar PON di Solo mulai 9 sampai 12 September dalam tahun yang sama.

Peristiwa itu terjadi sekitar satu tahun sebelum Belanda mengakui Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 dalam perjanjian penyerahan kedaulatan di Istana Dam, Amsterdam. Baru 16 tahun kemudian, pada 16 Agustus 2005, Belanda mengoreksi tanggal pengakuan kemerdekaan Indonesia menjadi 17 Agustus 1945.

PON era itu dan sampai masa Orde Lama, salah satunya diabdikan dalam upaya nation building atau membangun rasa kebangsaan Indonesia.

Pada masa-masa setelah itu pun tujuan PON tidak pernah hanya demi olahraga, termasuk PON Papua 2021.

Perhelatan olahraga nasional terbesar di Indonesia ini sendiri menjadi ajang bagi bertemu dan berkomunikasinya semua elemen bangsa demi membangun kesalingpengertian dan keinginan saling mengenal satu sama lain yang pada akhirnya menguatkan kohesi sosial, nasionalisme dan keindonesiaan.

Kohesi sosial

Olahraga modern sendiri penting dalam mengembangkan kontak antarmanusia, pada berbagai tingkat, entah nasional atau internasional, sehingga berperan penting dalam memperdalam kesalingpengertian antara masyarakat untuk kemudian turut menciptakan iklim kepercayaan dan perdamaian.

Olahraga, mengutip Barry D. McPherson dalam”The Social Significance of Sport: An Introduction to the Sociology of Sport”, adalah komponen integral dari kehidupan sosial masyarakat. Ini karena ada fungsi budaya dan sosial budaya dalam olahraga.

Olahraga memang bisa menjadi alat politik, namun juga bisa digunakan sebagai instrumen yang efektif dalam menguatkan kesalingpemahaman antarmasyarakat dan bahkan antarbangsa sehingga menjadi peluang moderasi konflik dan mengkonsolidasikan perdamaian yang lalu membantu menciptakan stabilisasi sosial dan politik, bahkan bisa juga ekonomi.

Studi-studi mutakhir belakangan masa ini tegas menunjukkan adanya hubungan olahraga kompetitif dengan peredaan militansi dan kekerasan dalam masyarakat, bahkan olahraga kompetitif meningkatkan agresivitas sistem sosial dan kohesi sosial.

Maka, tak heran jika banyak yang berpandangan, khususnya dari system kekuasaan, bahwa "politik adalah bagian dari olahraga dan juga bagian dari kehidupan." Alih-alih memisahkan kedua hal ini, orang semestinya fokus kepada memetakan kekuatan politik olahraga demi kebaikan yang lebih besar.

Dan memandang olahraga dari lensa politik berarti memandang siapa yang memiliki akses ke olahraga dan siapa yang tidak. Dalam perspektif ini, intervensi politik malah bisa memastikan semua orang memiliki akses yang sama kepada olahraga.

Jika intervensi itu baik, maka olahraga bisa dimanfaatkan sebagai sarana mewujudkan perdamaian dan harmoni sosial, bahkan menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan konflik, persis ketika ide Olimpiade lahir di zaman kuno guna mencairkan konflik di antara kelompok-kelompok bangsa kuno yang terus bermusuhan.

Oleh karena itu, selain fokus menempa dan melahirkan aktor-aktor olahraga yang bisa berprestasi tinggi-tinggi pada level apa saja, olahraga di tingkat akar rumput harus dimobilisasi menjadi kendaraan dalam menciptakan perdamaian atau kedamaian dan kendaraan dalam menciptakan harmoni.

Dalam konteks Indonesia dan PON Papua, ini mesti menjadi kendaraan dalam menguatkan keindonesiaan, apalagi di tengah masa sulit seperti sekarang Ketika semua hal tak luput dari ancaman nyata pandemi COVID-19 dan juga gangguan keamanan dari mereka yang berpaling kepada separatisme ketika baik Indonesia maupun dunia sudah final menyangkut status Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan manakala semua elemen bangsa intensif mengajak semua pihak bergandeng tangan membangun bumi ini.

Sekalipun begitu, demi makin mematangkan bangsa ini, dan tentu saja dunia keolahragaannya, kekentalan nuansa politik dan seremoni seharusnya bisa diencerkan lebih cair lagi dengan tetap menempatkan tinggi-tinggi aspek keolahragaan dan sportivitas sebagai wajah terpenting dalam menyelenggarakan multievent semacam PON.

Ini karena bangsa ini butuh jembatan mulus yang menghubungkan dengan sempurna apa yang dicapai pada PON, termasuk PON Papua, dengan apa yang bisa dicapai atlet-atlet kita pada event-event olahraga lebih tinggi lagi, termasuk Olimpiade. Torang Bisa!

Baca juga: Panglima TNI dan Kapolri pastikan PON Papua berlangsung aman
Baca juga: TNI jamin keamanan jelang acara pembukaan PON Papua
Baca juga: PON momentum bangkitkan ekonomi non-tambang Papua

 

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2021