Implementasi multiusaha kehutanan dinilai menjadi salah satu kunci untuk mencapai target nol emisi gas rumah kaca dari sektor berbasis hutan dan penggunaan lahan (net sink FOLU) pada 2030 sekaligus memacu ekonomi terus tumbuh.FOLU (sektor hutan dan penggunaan lahan) menjadi tulang punggung dalam pengendalian perubahan iklim karena yang paling siap
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto mengungkapkan untuk berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global, Indonesia sudah mencanangkan target net sink FOLU pada 2030.
"FOLU (sektor hutan dan penggunaan lahan) menjadi tulang punggung dalam pengendalian perubahan iklim karena yang paling siap," kata melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan termasuk terkait pengendalian perubahan iklim, lanjutnya, telah terbit Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan peraturan pelaksananya.
Berdasarkan ketentuan itu, ada kemudahan perizinan sekaligus mendorong pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) untuk tidak hanya fokus pada pemanfaatan kayu, tapi juga pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan dengan skema multiusaha kehutanan.
Berdasarkan data KLHK, saat ini, ada 567 unit izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dengan luas areal pengelolaan 30,5 juta hektare.
Agus menyatakan 567 unit izin usaha tersebut diharapkan bisa bertransformasi menjadi PBPH dan menerapkan multiusaha kehutanan untuk mendukung pencapaian target Indonesia Net Sink FOLU 2030.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan multiusaha kehutanan harus dikelola berbasis pengelolaan lanskap ekosistem hutan. "Ini menjadi pilar penting untuk mencapai net sink FOLU, dan tantangannya adalah membumikan aksi mitigasi perubahan iklim dengan multiusaha di tingkat tapak," katanya.
Menurut dia, multiusaha kehutanan harus diarahkan pada upaya riil untuk menurunkan emisi GRK, misalnya melalui silvikultur intensif, pengayaan hutan, restorasi gambut, dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Dalam webinar bertajuk "Pengelolaan Lanskap Ekosistem Hutan untuk Mendukung Target Net Sink FOLU 2030", Indroyono berharap pengembangan nilai ekonomi karbon (NEK) bisa dilakukan secara efektif.
"NEK menjadi insentif untuk mendorong aksi mitigasi melalui implementasi multiusaha di tingkat tapak ," katanya .
Sementara itu, Guru Besar IPB University Profesor Dodik R Nurrochmat mengingatkan multiusaha kehutanan harus diarahkan pada pengembangan ekonomi noneksploitatif, termasuk salah satunya adalah usaha pemanfaatan jasa lingkungan karbon.
Namun, dia mengingatkan usaha jasa lingkungan karbon harus didasarkan pada aksi yang riil.
"Kontribusi kehutanan bisa dicapai dengan aksi riil, bukan di atas kertas," katanya.
Dodik menjelaskan pemanfaatan jasa lingkungan karbon harus didasarkan prinsip imbal jasa lingkungan yang diberikan sebagai penghargaan atas aksi mitigasi yang dilakukan para pihak.
Menurut dia, dengan pemanfaatan jasa lingkungan karbon melalui multiusaha kehutanan, maka nilai ekonomi hutan diharapkan bisa meningkat. Dengan demikian, tendensi untuk melakukan perubahan status kawasan hutan bisa mereda.
Indonesia Country Director ICRAF Sonya Dewi menambahkan untuk mendukung tercapainya net sink FOLU bisa dilakukan dengan menerapkan kemitraan agroforestry, dengan pola budidaya nonmonokultur.
Dikatakannya, model bisnis ini bisa menghasilkan komoditas bernilai tinggi dengan sekaligus memberi jasa lingkungan termasuk karbon dengan melibatkan masyarakat.
Baca juga: KLHK tingkatkan peran masyarakat untuk mitigasi perubahan iklim
Baca juga: Menteri LHK apresiasi peran peneliti di lingkungan hidup dan kehutanan
Baca juga: DPR: Jangan sampai kawasan perhutanan sosial beralih jadi perkebunan
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021