Berbekal surat kesepakatan yang ditandatanganinya bersama Departemen Kehakiman Amerika Serikat itu, putri bos Huawei Ren Zhengfei tersebut sudah bisa menghirup udara bebas setelah menghuni sel tahanan di Kanada selama hampir tiga tahun.
Kebebasan direktur keuangan raksasa industri telekomunikasi asal China Huawei itu menyita perhatian dunia.
Kedatangan Meng di Shenzhen, kota di selatan China yang merupakan markas Huawei, disambut bagaikan pahlawan yang baru pulang dari medan pertempuran.
Mengenakan gaun merah, warna kebesaran yang melambangkan keberuntungan dalam mitologi China, Meng tampak sumringah begitu kakinya menginjakkan tanah kota yang disebut-sebut sebagai "Silicon Valley-nya China" itu.
Dia berjalan di atas karpet merah dengan tangan kiri mendekap karangan bunga, sedangkan tangan kanannya melambai ke arah ratusan orang yang sudah lama menantikan kedatangannya pada Sabtu (25/9) malam.
Meng tidak mengenakan masker seperti yang diwajibkan pada setiap orang yang baru turun dari pesawat. Tidak dijelaskan pula apakah dia juga dikenai wajib karantina selama 21 hari seperti warga lain yang tiba di daratan luas Tiongkok itu selama masa pandemi COVID-19.
Baca juga: Huawei luncurkan piranti lunak bersamaan kebebasan Meng
Namun antusiasme kerumunan massa pendukung Meng seperti tidak terbendung, penuh semangat seperti lagu nasional yang menjadi musik latar siaran berita peristiwa fenomenal itu.
Suasana terasa sangat heroik, sampai-sampai massa membentangkan spanduk beraksarakan Mandarin "Huan Ying Meng Wanzhou Nu Shi Hui Jia" atau "Selamat Datang atas Kepulangan Nona Meng Wanzhou".
Pada saat bersamaan, dua warga negara Kanada, Michael Kovrig dan Michael Spavor, juga mendapatkan kebebasan yang sama dari otoritas China.
Bedanya, ketibaan Kovrig dan Spavor di Calgary tidak seheboh dan sefenomenal kedatangan Meng di Shenzhen pada Sabtu itu.
Meng ditangkap di bandara Vancouver, Kanada, pada 1 Desember 2018 atas tuduhan AS terkait penipuan dalam kesepakatan bisnis Huawei dengan Iran yang masih terkena sanksi Barat.
Beberapa hari kemudian, otoritas China menangkap Kovrig dan Spavor pada 10 Desember 2018 atas tuduhan melakukan aktivitas yang dapat mengancam stabilitas keamanan negara berpenduduk terbesar di dunia itu.
Karier kedua Michael tersebut tidak sementereng Meng. Kovrig hanyalah mantan diplomat dan wartawan Kanada yang bekerja untuk LSM International Crisis Group, sedangkan Spavor menjalankan usaha biro perjalanan wisata yang beroperasi di perbatasan China dengan Korea Utara.
Oleh otoritas China, keduanya dituduh melakukan spionase sehingga harus mendekam di penjara selama lebih dari 1.000 hari.
Baca juga: Bebas dari penjara, bos Huawei pulang kampung dengan pesawat carter
Bertukar Sandera
Kebebasan Meng yang bersamaan dengan kebebasan kedua Michael tersebut seakan mengakhiri sengketa diplomasi China dan Kanada dalam rentang waktu yang cukup lama.
Kedua negara yang sama-sama berada di belahan utara planet bumi itu memang tidak sampai memutus ikatan diplomatik, seperti yang pernah terjadi antara Indonesia dan China selama periode 1966-1990.
Namun ketegangan hubungan China-Kanada terus terjadi selama periode penahanan Meng dan kedua Michael sampai sekarang. Bahkan baru-baru ini, merek jaket penahan dingin ternama "Canada Goose" juga terkena sanksi China menjelang Festival Belanja 11-11.
Sejak Desember 2018, ada konsentrasi pengamanan yang cukup intensif di sekitar Kedutaan Besar Kanada di Jalan Raya Dongzhimen Wai, Beijing.
Pengamanan tersebut terlihat mencolok dan kontras jika dibandingkan dengan kantor-kantor perwakilan asing lainnya di salah satu diplomatic compound terbesar di pusat pemerintahan China itu.
Kementerian Luar Negeri China (MFA) langsung merespons kebebasan Meng dengan mengirimkan pesan singkat ke sejumlah perwakilan media asing, termasuk kepada penulis yang tinggal di Beijing.
"Kasus penipuan yang dituduhkan kepada Meng hanya dibuat-buat. Apa yang dilakukan AS dan Kanada merupakan penahanan sewenang-wenang," kata juru bicara MFA Hua Chunying dalam pesan singkatnya.
China merasa menang dalam kontestasi diplomasi dengan Kanada, utamanya yang berkaitan dengan kasus Meng itu.
Baca juga: Tim pembela klaim tak ada bukti Meng Wanzhou lakukan penipuan
Namun, kebebasan Kovrig dan Spavor juga menyisakan pertanyaan yang tak mudah dijawab Beijing, utamanya berkaitan dengan supremasi hukum di China yang selama ini dikenal sangat saklek dan tanpa kompromi.
Kurang dari sebulan sebelum dibebaskan, otoritas China dengan tegas menyatakan bahwa kedua warga negara Kanada itu akan dihukum selama 11 tahun.
China terlihat memainkan hostage diplomacy (diplomasi sandera) dan coercive diplomacy (diplomasi paksaan) untuk memenjarakan kedua Michael itu sebagai respons atas kriminalisasi terhadap Meng.
Dalam perspektif hubungan internasional, diplomasi sandera dilakukan dengan menyandera lawan untuk tujuan diplomasi.
MFA dan kantor-kantor perwakilan China di Kanada dan AS paling getol mendesak agar Meng segera dibebaskan, selain upaya litigasi yang dilakukan oleh kuasa hukumnya.
Diplomasi sandera ini lazim terjadi pada era Dinasti Han (202 sebelum Masehi-220 Masehi).
Kala itu pertukaran sandera yang dikenal dengan istilah "Zhizi" digunakan sebagai jaminan kepercayaan. Biasanya yang dijadikan sandera adalah seorang pangeran dari seorang kaisar.
Meskipun bukan seorang pangeran, Meng adalah aset terbesar China dalam penguasaan teknologi masa depan.
Baca juga: Sidang CFO Huawei Meng Wanzhou masuki tahap akhir
Walaupun baru berkembang pada era 2000-an, Huawei kini sudah menguasai teknologi jaringan telekomunikasi termodern dan terjangkau, utamanya generasi kelima (5G). Bahkan pada 2035 Huawei sudah menyiapkan peluncuran 6G.
Tentu saja hal itu tidak disukai AS dan sekutunya, karena ketika 2G dan 3G berkembang, Huawei bukanlah siapa-siapa.
Biar sepadan, maka penahanan Meng harus ditukar dengan pemenjaraan dua orang Kanada yang mungkin sedang apes saja, sedang dimata-matai China.
Penahanan dua warga Kanada itu dijadikan alat tawar China dalam menjalankan coercive diplomacy.
Penahanan mereka sudah memenuhi tiga unsur penting dalam diplomasi ini, yakni pemberitahuan, negosiasi, dan proses tawar-menawar.
Diplomasi tersebut juga lazim dilakukan dalam hubungan antarnegara demi mencapai tujuan politik dan mendorong kepentingan nasional tanpa memicu peperangan secara terbuka.
Sun Tzu, jenderal militer dan ahli strategi China yang hidup di masa Dinasti Han, juga menjalankan misi diplomasi koersif ini.
Tentu suatu negara yang menjalankan misi diplomasi sandera dan memaksa (hostage dan coercive) tersebut harus memiliki kemampuan sehingga bisa membuat negara lawan ketakutan.
Dan, China sebagai negara pemimpin ekonomi kedua di dunia punya kekuatan semacam itu.
Baca juga: Kasus ekstradisi terhadap CFO Huawei Meng Wanzhou masuki babak baru
Baca juga: Kasus Huawei, petugas perbatasan Kanada akui kesaksian "tak lengkap"
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021