Perempuan Badui Luar yang tersebar di pemukiman adat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak tampak sibuk pagi buta itu. Mereka pergi ke ladang-ladang untuk menjalankan tradisi bercocok tanam padi huma dan tanaman palawija.Kami menjalani tanam untuk kesejahteraan keluarga juga kesetiaan dalam membina rumah tangga
Gerakan bercocok tanam padi huma dilaksanakan awal Oktober sesuai jadwal kalender adat dan dipanen April 2022 atau enam bulan ke depan.
Para perempuan Badui itu berjalan kaki hingga belasan kilometer menuju lokasi ladang di sekitar perbatasan. Permukiman Badui juga tersebar di Kecamatan Gunung Kencana, Cimarga Sobang, Cirinten, Bojongmanik hingga Muncang.
Selama menempuh perjalanan itu mereka dengan khas di kepala memakai tudung atau topi besar terbuat dari anyaman bambu untuk melindungi dari terik matahari juga membawa beras dan makanan untuk bekal tinggal di kebun ladang.
Mereka bercocok tanam untuk membantu suami yang sebelumnya sudah membuka lahan-lahan kebun di perbukitan.
Mereka bercocok tanam untuk membantu suami yang sebelumnya sudah membuka lahan-lahan kebun di perbukitan.
Lahan perbukitan yang awalnya hutan, namun dibuka oleh petani Badui dengan menebang pepohonan juga membabat rumput ilalang.
Para petani Badui itu bercocok tanam setiap tahunnya selalu berpindah- pindah lokasi karena amanat leluhur adat itu.
Kebanyakan ladang pertanian Badui diperbukitan milik warga luar Badui juga ada Perum Perhutani dengan cara menyewa lahan.
Mereka membayar lahan sewa itu nantinya dengan bagi hasil dari panen itu.
Perbukitan yang menjadi kawasan kebun ladang ditanami secara tumpang sari dengan tanaman lainnya, seperti padi huma, pisang, jahe, kencur, palawija hingga tanaman keras.
Penanaman secara tumpang sari itu bisa menghasilkan ketersediaan pangan juga pendapatan ekonomi mulai tiga bulan dan 12 bulan, juga lima tahunan.
"Kami bersama suami merasa senang memasuki masa tanam," kata Munah (45) seorang perempuan Badui yang membuka lahan kebun ladang milik Perum Perhutani di Blok Cicuraheum Kabupaten Lebak, Minggu.
Musim hujan
Para perempuan Badui itu cukup beruntun mengingat gerakan tanam itu memasuki musim hujan, sehingga lahan pertanian ladang begitu mudah untuk dimasuki butiran gabah ke dalam tanah.
Mereka secara cermat memasukkan butiran gabah ke lubang atau "ngaseuk" dengan jarak yang ditentukan agar tanaman padi huma tumbuh subur.
Mereka juga mudah membuat lubang untuk ditanami pisang, palawija dan tanaman lainnya.
Pertanian ladang biasanya jika musim hujan dipastikan menghasilkan panen melimpah juga tanpa serangan penyakit tanaman.
Kesetiaan
Munah mengatakan umumnya perempuan Badui bercocok tanam itu untuk membantu suami di kebun ladang merupakan bentuk kesetiaan.
Dirinya meniti usaha bercocok tanam itu sejak menikah hingga kini tinggal di kebun ladang.
Sebab, penghasilan ekonomi masyarakat Badui dari hasil bercocok tanam ladang, termasuk persediaan pangan.
Mereka, kaum perempuan Badui wajib membantu suami di kebun ladang agar mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Selama ini, perempuan Badui tidak ada yang menganggur jika sudah memiliki suami, bahkan mereka ada yang tinggal di ladang selama enam bulan bersama suami.
"Kami menjalani tanam untuk kesejahteraan keluarga juga kesetiaan dalam membina rumah tangga, " kata Munah.
Ladang
Masyarakat Badui kini memasuki musim tanam setelah membuka kawasan hutan di perbukitan untuk menjadi ladang pertanian.
Pembukaan kawasan hutan perbukitan kini bersih dan mulai ditanami padi huma dan tanaman palawija.
"Pembukaan hutan itu berjalan lancar dan tidak menemukan ular berbisa, " kata Pulung (55), seorang petani Badui.
Masyarakat Badui mengandalkan lahan pertanian ladang untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, juga peningkatan ekonomi.
Mereka menanam padi huma tersebut di lahan-lahan perbukitan dan pegunungan karena memberikan kesuburan tanaman.
Petani Badui hingga kini mengembangkan pertanian di kebun ladang organik tanpa menggunakan pupuk kimia.
Untuk kesuburan lahan dengan membakar sisa-sisa pembabatan semak belukar, pohon hingga ilalang dan limbah sampah. Pembakaran itu bisa dijadikan pupuk organik dan dapat menyuburkan tanaman padi huma dan tanaman palawija.
"Kami melakukan gerakan tanam itu dan dibantu bersama isteri, " katanya.
Berpindah-pindah
Tetua Adat yang juga Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Jaro Saija menyatakan saat ini petani Badui secara serentak mulai bercocok tanam di kawasan perbukitan untuk dijadikan ladang huma dan palawija.
Petani Badui sesuai adat setiap tahun membuka ladang pertanian selalu berpindah pindah lokasi untuk mempertahankan adat leluhur.
Selama ini, di masyarakat Badui yang berpenduduk 4.320 kepala keluarga (KK) dan 14.600 jiwa dan tersebar di 68 kampung, belum ditemukan kerawanan pangan maupun kelaparan.
Petani Badui itu, selain bercocok tanam padi huma juga tanaman palawija dan sayuran.
Biasanya, tanaman palawija dan sayuran itu dijadikan pendapatan ekonomi mereka karena hasil panennya dijual ke pasar.
"Kami berharap hasil panen melimpah tanpa terserang hana maupun penyakit tanaman," katanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Lebak Rahmat Yuniar menjelaskan petani Badui memberikan kontribusi besar terhadap ketersediaan pangan sehingga mereka tidak pernah mengalami kelaparan.
Mereka kini memiliki 2.000 rumah pangan dengan rata-rata empat ton/leuit. Dengan demikian mereka bisa menyimpan gabah sekitar 800 ribu ton.
“Kami terus mendorong agar petani Badui mampu mengembangkan padi huma dan dapat menyumbangkan ketahanan pangan keluarga mereka,” katanya.
Tanpa krisis
Humas Wadah Musyawarah Masyarakat Baduy (Wammby) Tono Soemarsono menjelaskan selama ini masyarakat Badui yang tinggal di Pegunungan Kendeng pedalaman Kabupaten Lebak hingga kini tidak pernah mengalami krisis juga ancaman kelaparan karena pola hidup yang sederhana dan efisien.
Kehidupan masyarakat Badui cukup sederhana dan penggunaan uang dari hasil produk kerajinan dan pertanian dikelola dengan sebaik-baiknya.
Masyarakat Badui lebih mengirit dan tidak membeli hal-hal lain, namun mereka gunakan uang tersebut dijadikan investasi dan tabungan, seperti membeli tanah dan perhiasan emas.
Permukiman kawasan Badui dilarang memiliki rumah permanen juga elektronika dan kendaraan.
Larangan itu, kata dia, berdasarkan adat mereka dari nenek moyangnya yang harus dipatuhi oleh masyarakat Badui.
Bahkan, masyarakat Badui banyak juga memiliki tanah cukup luas di luar kawasan hak ulayat adat untuk dijadikan penghasilan bercocok tanam.
Selama ini pertanian ladang yang dikembangkan masyarakat Badui dapat menyumbangkan pangan dan pendapatan ekonomi cukup besar, seperti komoditas padi huma, durian, koranji, pisang, petai dan jengkol hingga tanaman palawija
Bahkan, jika musim panen buah durian dan koranji dipastikan ratusan juta uang beredar di kawasan masyarakat Badui.
Namun, masyarakat Badui untuk komoditas padi huma tidak dijual karena sebagai pertahanan pangan keluarga.
Hasil panen padi huma itu berupa gabah mereka simpan di rumah-rumah pangan atau "leuit" yang ada di belakang rumah.
Baca juga: Usaha kerajinan tenun warga Badui kembali menggeliat
Baca juga: Baju adat Badui, antara Presiden Jokowi dan bangkitnya UMKM
Baca juga: Warga Badui cintai hutan dan alam untuk keberlangsungan hidup
Baca juga: Usaha kerajinan tenun warga Badui kembali menggeliat
Baca juga: Baju adat Badui, antara Presiden Jokowi dan bangkitnya UMKM
Baca juga: Warga Badui cintai hutan dan alam untuk keberlangsungan hidup
Pewarta: Mansyur suryana
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021