Oslo (ANTARA News/Reuters) - Sejumlah gletser Himalaya bertambah meskipun secara keseluruhan berkurang, menurut sebuah studi Minggu yang menjadi sebuah langkah menuju pemahaman bagaimana perubahan iklim mempengaruhi aliran sungai penting dari China sampai India.
Selimut debu dan reruntuhan batu nampaknya menutupi sejumlah gletser di rangkaian gunung tertinggi di dunia akibat dari cuaca hangat, sebuah faktor yang terabaikan dalam laporan-laporan pemanasan global masa silam. Dan berbagai pola angin kemungkinan akan menjelaskan mengapa beberapa tahan lumer.
"Studi kami memperlihatkan bahwa tidak ada respon seragam pada gletser Himalaya terhadap perubahan iklim dan menjelaskan pentingnya tutup reruntuhan tersebut," tulis para ilmuwan di universitas Jerman dan Amerika Serikat dalam studi terhadap 286 gletser.
Penemuan tersebut menggarisbawahi, para ahli di Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB salah karena mengatakan pada laporan 2007 bahwa gletser akan musnah sebelum 2035 dalam cuaca hangat yang cepat tak terkendali. Panel mengoreksi kesalahan tersebut pada 2010.
Laporan tersebut mengatakan bahwa 58 persen gletser yang diamati di rangkaian Karakoram barat Himalaya stabil atau bertambah, mungkin karena terpengaruh angin barat yang dingin daripada angin balik dari Samudera Hindia.
Di lain tempat di Himalaya "lebih dari 65 persen gletser yang dipengaruhi angin balik ... berkurang," tulis mereka di jurnal Nature Geoscience dari studi satelit mulai dari 2000 hingga 2008. Sejumlah gletser yang stabil panjangnya tertutup lapisan tebal reruntuhan batu.
"Secara keseluruhan gletser di Himalaya berkurang," kata Dirk Scherler, pengarang utama di Universitas Potsdam di Jerman, kepada Reuters.
Alpen Hingga Andes
Scherler mengatakan temuan tersebut tidak menyampaikan kepada para ahli untuk membuat estimasi baru apapun mengenai hilangnya air dari gletser Himalaya, yang pencairannya secara musiman membantu mempertahankan aliran pada beberapa sungai mulai dari Gangga hingga Yangtze saat musim panas. Perlu studi lebih banyak, katanya.
"Gletser penting untuk suplai air bagi banyak orang yang tinggal di tanah rendah, tidak hanya untuk makanan dan air minum tetapi juga untuk pembangkit listrik tenaga air," kata Scherler. "Penting memahami apa yang sedang terjadi."
Di seluruh dunia, kebanyakan gletser mengkerut mulai dari Alpen hingga Andes, sebuah tren yang IPCC persalahkan pada gas-gas rumahkaca akibat dari aktivitas manusia, yang dipimpin pembakaran bahan bakar fosil.
Reruntuhan di Himalaya -- lebih gelap daripada es dan menyerap lebih banyak energi matahari -- cenderung mempercepat suatu cuaca hangat jika tebalnya kurang dari 2 cm (0,8 inch). Namun lapisan yang lebih tebal pada beberapa gletser Himalaya bertindak sebagai insulator, memperlambat pencairan.
Dalam kompleksitas, sejumlah gletser yang tertutupi reruntuhan yang panjangnya stabil mungkin menjadi lebih tipis dengan demikian kehilangan air secara keseluruhan, katanya. Tren itu telah ditunjukkan sejumlah studi di masa silam pada gletser Khumbu di Gunung Everest, misalnya.
Sesudah kesalahan Himalaya, IPCC menegaskan kembali kesimpulan pentingnya bahwa lebih dari 90 persen kemungkinannya, aktivitas manusia merupakan penyebab utama perubahan iklim selama 50 tahun belakangan, menambah banjir, kekeringan dan kenaikan permukaan air laut. (ANT/K004)
Penerjemah:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011