Hal itu disampaikan Ari melalui orasi ilmiah pada Dies Natalis Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ke-58, bersamaan dengan Wisuda Sarjana ke-59, Wisuda Magister ke-30 dan Wisuda Doktor ke-18, di Bali, Senin.
"Ilmu agama, kearifan lokal, sains dan modernitas perlu jaga secara seimbang untuk melahirkan sikap 'welas asih', memuliakan kemanusiaan dan memajukan peradaban," ujar Ari dalam siaran pers di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan sikap-sikap puritan yang mengorbankan ilmu pengetahuan, seperti dialami Anaxagoras dan Galileo tidak perlu terjadi lagi.
Sebaliknya, perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi tak perlu meminggirkan kearifan agama dan tradisi.
Baca juga: Ari Dwipayana ajak warga jadikan krisis sebagai tantangan dan peluang
Dia menjelaskan bahwa sains dan teknologi dalam perspektif tradisi Bali memiliki kearifan tersendiri, yang melengkapi sains modern.
"Masyarakat Bali mengenal 'Wiweka-widya" dan "Jnana-wicaksana", yang menekankan bahwa sains dan teknologi bukanlah sekedar eksplorasi pikiran yang menghasilkan 'widya', tapi juga menembus olah kepekaan 'jnana' hingga berpuncak pada 'kawicaksanan' atau wisdom," ujar dia.
Menurut Ari Dwipayana, tradisi pengetahuan di Bali bisa dipilah dalam 3 dimensi.
Pertama, yaitu dimensi rasa, yang bersumber pada pengakuan adanya jiwa dalam setiap obyek di dunia.
Dengan dimensi rasa ini, sains dan teknologi bukanlah alur linear antara subyek dan obyek. Sebaliknya, implementasi sains dan teknologi adalah wujud interaksi antar jiwa di alam semesta, baik jiwa-jiwa dalam diri manusia, binatang, tumbuhan, benda-benda maupun jiwa alam semesta itu sendiri.
Kedua, kata Ari, pengetahuan tradisi Bali juga menawarkan dimensi etik sebagai bagian integral etika masa depan, yaitu kepatutan dan kepantasan.
Dalam hal ini, kata dia, implementasi sains dan teknologi bukan oposisi biner antara benar dan salah, tapi harus mempertimbangkan nilai kebaikan dan keburukan.
"Tak semua yang benar secara ilmu pengetahuan bisa diterapkan dalam masyarakat. Karena itu, implementasi kebenaran tersebut juga harus patut dan pantas," jelasnya.
Adapun untuk mencapai "kawicaksanaan", kata dia, ada 5 tahap yang harus dilalui yaitu "nawang, bisa, dadi, patut dan pantes". Seorang penuntut ilmu belum dipandang, ketika baru mencapai tahap "nawang".
Baca juga: Koordinator Stafsus Presiden tinjau pembangunan asrama mahasiswa Bali
"Pengetahuan itu harus dipraktikkan hingga mencapai tahap bisa. Setelah bisa, seseorang akan diuji untuk memasuki tahap dadi, di mana dia memiliki otoritas terhadap keadaan eksternal," jelasnya.
Dia mengatakan saat mencapai tahap dadi inilah, penguasaan ilmu dan teknologi seseorang diuji, apakah bisa bersikap patut serta mampu memilah yang benar dan yang salah.
Sementara tahap terakhir, yaitu pantes di mana seorang bisa menciptakan harmoni dan kebaikan untuk sesama. Menurutnya, di sinilah peran jiwa seseorang, yang dituntut untuk menjadi pembimbing arah bagi sains dan teknologi yang dikuasainya.
Dimensi ketiga yang ditekankan oleh Ari Dwipayana adalah dimensi tujuan, di mana muara dari setiap ilmu adalah kembali pada hakikat kemanusiaan, yaitu perwujudan Jagadhita ya ca Iti Dharma, yakni upaya menciptakan harmoni dan kebahagiaan lahir batin untuk umat manusia dan alam semesta berlandaskan atas Dharma.
Tujuan ini, kata dia, hanya bisa tercapai jika disinergikan dengan dua dimensi sebelumnya, yaitu dimensi rasa dan dimensi etik.
Baca juga: Ari Dwipayana harap STAHN Mpu Kuturan Singaraja terapkan konsep GAS
Baca juga: Ari Dwipayana: Sastra Saraswati Sewana untuk pemajuan kebudayaan Bali
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021