"Tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kemampuan untuk memastikan pencegahan dan perlindungan pekerja migran, hanya kemitraanlah yang memungkinkan adanya pengembangan dan pelaksanaan penanganan secara komprehensif yang akan memberikan dampak nyata dan membawa perubahan sistemik," kata Untung dikutip dalam keterangan tertulis Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang diterima di Jakarta, Kamis.
Untung yang menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Nasional (BP2MI) tentang Peran Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Pendekatan Multi-Aspek Dalam Penempatan Ilegal Pekerja Migran Indonesia itu menjelaskan, perlindungan pekerja migran Indonesia merupakan suatu yang sangat komplek dan bersifat multi-dimensi.
Baca juga: Pakar hukum: Koordinasi Kejagung dan KPK hindarkan ego sektoral
Beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh para pekerja migran di antaranya, pemalsuan dokumen kelengkapan biaya penempatan berlebih, "overstay", gaji tidak dibayar, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan terjadi perdagangan orang serta kasus pidana lainnya.
"Beberapa permasalahan ini mayoritasnya menimpa perempuan pekerja migran Indonesia," ujarnya.
Menurut Untung, kejahatan perdagangan orang kerap dijumpai bersinggungan dengan berbagai tindak pidana lainnya, seperti pencucian uang dan korupsi.
Untung mencontohkan, kaitannya dengan kasus korupsi adanya perusahaan yang mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara ilegal dalam jumlah tertentu (besar-red) yang tanpa dan/atau diketahui oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2TKI).
Dari tindakan korporasi tersebut, kata Untung, kemungkinan ada sejumlah pemasukan negara yang hilang, sehingga akhirnya justru menimbulkan potensi kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
"Selain itu, gratifikasi atau suap juga mungkin terjadi dalam pelayanan publik dan dokumen, misalnya pengerahan surat izin pengerahan (SIP) dalam perekrutan TKI dan sebagainya," ungkapnya.
Lebih lanjut Untung mengatakan di era globalisasi ini tidak menutup kemungkinan kejahatan perdagangan orang dilakukan oleh korporasi. Sering ditemukan modus usaha penyaluran jasa TKI ilegal dalam bentuk CV, PT ataupun lainnya guna memperlancar niat jahat memperdagangkan orang.
Baca juga: Sahroni: Koordinasi Kejaksaan-KPK hindari tumpang tindih tangani kasus
Menurut dia, kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikans ecara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang.
"Sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan korporasi maka undang-undang ini telah mengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum," terangnya.
Ia menambahkan, ditempatkannya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana perdagangan orang dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Untung juga mengingatkan bahwa, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) tidak hanya mengatur perdagangan orang terhadap perempuan dan anak yang rentan menjadi korban, tetapi terhadap siapapun yang menjadi korban perdagangan orang.
Selain itu juga, UU PTPPO mengatur juga mengenai hak-hak korban perdagangan orang yang tercantum dalam Bab V Pasal 48–55 UU PTPPO. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk memperoleh restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial.
Menurut Pasal 55 UU PTPPO, hak saksi dan/atau korban juga meliputi hak saksi dan/atau korban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, KUHAP dan lain sebagainya.
"Hak korban yang menarik dan menjadi perhatian dalam UU PTPPO adalah hak korban atas restitusi," ujar Untung.
Baca juga: Pakar: Kejagung harus sidik kasus Asabri secara komprehensif
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021