• Beranda
  • Berita
  • Kepedulian Suharso Monoarfa jadikan Indonesia bebas TBC

Kepedulian Suharso Monoarfa jadikan Indonesia bebas TBC

11 Oktober 2021 09:52 WIB
Kepedulian Suharso Monoarfa jadikan Indonesia bebas TBC
Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa (kiri) dalam kunjungannya di RSUD Zainal Umar Sidiki, didampingi Bupati Gorontalo Utara, Indra Yasin (kanan). (ANTARA/Susanti Sako)

Itu bentuk keseriusan kita dalam menangani TBC

Urusan kesehatan bukan saja menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan. Namun menjadi tanggung jawab semua orang di Indonesia.

Hal itu dikatakan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, pada kunjungannya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainal Umar Sidiki, Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Ia menyebut, seluruh pemerintah daerah harus serius dalam penanganan pandemi COVID-19 di tanah air, termasuk penanganan penyakit menular (PM) khususnya Tuberkulosis (TB) yang dikenal dengan singkatan TBC.

"Dulu sebelum saya menjadi Menteri, kita (Indonesia, red) ada di urutan ke 3 dunia, kasus TBC. Setelah menjadi Menteri, naik di urutan ke 2 dunia," katanya.

Kondisi ini cukup meresahkan sehingga pemerintah dan masyarakat harus serius dan proaktif dalam penanganannya, ujarnya.

Sebab kasus TBC ditemukan lebih banyak di daerah, karena keengganan masyarakat memeriksakan kesehatannya.

"Sakit batuk dianggap hal biasa. Paling-paling minum obat langsung sembuh. Padahal batuk dalam jangka waktu yang lama, dapat berakibat fatal diantaranya menderita TBC," katanya.

Maka perhatian terhadap masalah kesehatan yang tergolong mematikan dan meresahkan ini, perlu lebih prioritas.

Kegiatan promosi perlu terus ditingkatkan untuk mengajak masyarakat datang memeriksakan kesehatannya, tambahnya.

Pemerintah daerah melalui dinas kesehatan, perlu memperhatikan angka kesakitan TBC.

"Jika mengalami kesulitan anggaran, jangan ragu untuk meminta intervensi dari pemerintah pusat. Ajukan perencanaan program yang sinergi dengan program nasional di bidang kesehatan, khususnya dalam penanganan penyakit menular seperti TBC," katanya.

Sebab penyakit ini harus ditangani serius, bahkan sama atau bahkan lebih serius dari menangani pandemi COVID-19, karena tingkat penularannya yang sangat mudah dan cepat, katanya.

Indonesia kata Menteri, tidak hanya harus bebas dari penyakit TBC pada 2030 mendatang, namun upaya menemukan kasus tersebut setiap hari harus optimal dilakukan untuk menurunkan angka penderita

Setiap hari, fasilitas kesehatan yang disiapkan pemerintah, baik puskesmas dan rumah sakit, harus mengupayakan kegiatan preventif dalam bentuk skrining.

Untuk satu kasus yang ditemukan per hari, skrining wajib dilakukan kepada minimal 20 hingga 30 orang dalam keluarga dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.

"Itu bentuk keseriusan kita dalam menangani TBC," kata menteri yang lebih banyak membahas persoalan penanganan TBC, saat berkunjung ke rumah sakit satu-satunya di wilayah utara Provinsi Gorontalo itu.

Kabupaten tersebut ada di lintas Sulawesi, diapit oleh dua kabupaten tetangga. Di wilayah timur, berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Dan di wilayah barat, berbatasan dengan Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah.

Maka keberadaan rumah sakit itu, sangat strategis dalam memberikan pelayanan kesehatan termasuk sebagai sumber penerimaan bagi daerah. Sehingga pengelolaannya harus lebih baik, khususnya dalam menangani kasus TBC.

Baca juga: Kemenkes terapkan strategi khusus penanganan TBC di tengah COVID-19

Baca juga: Mengenal TBC resisten obat dan kendala penanganan


Anggaran penyakit menular 

Kepala Dinas Kesehatan Gorontalo Utara, Rizal Yusuf Kune, mengatakan, setiap Tahun Anggaran, pemerintah daerah tersebut selalu mendapatkan kucuran dana alokasi khusus (DAK) dari Kementerian Kesehatan, untuk penanganan penyakit menular.

Tahun Anggaran 2021, kita menerima alokasi sebesar Rp200 juta. Angka ini tidak berbeda besarannya dengan Tahun Anggaran 2020.

Bahkan anggaran tersebut nomenklaturnya gelondongan. Artinya, penyakit menular yang ditangani melalui anggaran tersebut, tidak hanya TBC, namun mencakup penanganan penyakit menular lainnya, seperti Kusta, Demam Berdarah, dan HIV/AIDS.

Dengan angka yang tergolong sedikit itu, Dinas Kesehatan harus cerdas membaginya untuk penanganan kasus kesehatan yang sangat prioritas.

Khusus TBC, anggarannya diprioritaskan pada kegiatan pengambilan sampel.

Selain kegiatan preventif dan promosi dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya mencegah penularannya.

Minim anggaran pun membuat Dinas Kesehatan harus berkolaborasi dengan seluruh puskesmas. Terdapat 15 puskesmas tersebar di 11 kecamatan.

"Untuk penanganan penyakit menular, puskesmas memanfaatkan anggaran bantuan operasional kesehatan (BOK) untuk biaya perjalanan dinas petugas, meliputi, kegiatan pendeteksian, pengambilan sampel, pengantaran, monitoring dan pengawasan obat," katanya.

Sumber daya tenaga kesehatan yang tersedia, sangat diarahkan untuk kegiatan tersebut. Mengingat kendala tidak adanya tenaga analis tetap, juga harus dihadapi.

Seluruh puskesmas, terus diingatkan untuk memprioritaskan pengambilan sampel bagi pasien yang datang dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu.

Mengingat banyak kasus tidak terdeteksi akibat ketakutan masyarakat berkata jujur tentang riwayat penyakit yang diderita, juga kekhawatiran untuk menjalani pengobatan padahal pemerintah menggratiskan biaya perawatan pasien TBC.

Di masa pandemi COVID-19 ini, orang bahkan takut datang ke fasilitas kesehatan (faskes) untuk berobat.

Dengan anggapan, khawatir jika datang dengan keluhan batuk, akan langsung dianggap menderita COVID-19.

Sehingga kondisi itu menjadi tantangan yang membuat sangat sulitnya menemukan orang dengan positif TBC karena minim dalam pemeriksaan sampel dahak.

Padahal targetnya, daerah ini minimal mampu mendeteksi 120 angka kesakitan TBC per tahun.

Sumber daya nakes

Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara, menyiapkan dua fasilitas kesehatan khusus penanganan TBC. Dengan memprioritaskan pemeriksaan sampel dahak dan skrining kasus.

Khusus di wilayah barat kabupaten tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Rizal Yusuf Kune mengatakan, Puskesmas Buloila di Kecamatan Sumalata, disiapkan untuk melakukan pemeriksaan sampel dahak.

"Sebab kita memiliki fasilitas laboratorium dan peralatannya, serta tenaga analis berstatus tetap di puskesmas itu," katanya.

Sementara di pusat ibu kota kabupaten, pemeriksaan itu disiapkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainal Umar Sidiki.

Untuk puskesmas lainnya, tetap melayani pemeriksaan sampel dahak namun kendala ketersediaan tenaga analis yang bertugas tetap, memang harus dihadapi.

Selama ini, pemeriksaan itu dilakukan perawat honorer yang disiapkan. Mengingat belum ada tenaga analis tetap di puskesmas, artinya analis berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang memang perlu dimiliki setiap puskesmas.

Beruntung di tahun ini, Kementerian Kesehatan melalui program Nusantara Sehat, menugaskan satu orang analis untuk daerah ini.

"Meski baru satu orang, namun kita sangat mensyukuri dan menyambutnya gembira, sebab tenaga analis menjadi profesi langka di daerah ini. Sehingga permintaan langsung ke pemerintah pusat terus dilakukan secara periodik. Termasuk melalui kuota penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kami terus melakukan permintaan melalui Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP)," kata Rizal.

Agar kesiapan SDM mampu mendukung kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan 15 puskesmas secara optimal, tambahnya.

Seluruh SDM tenaga kesehatan pun diminta untuk terus melakukan kegiatan promosi pada pelayanan pemeriksaan sampel dahak di setiap puskesmas.

Juga peningkatan kapasitas dalam penanganan penyakit menular khususnya TBC.

"Apalagi layanan tersebut hingga masa pengobatannya dipastikan benar-benar gratis. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir menjalani rangkaian pemeriksaan hingga pengobatan untuk kasus positif TBC," ujarnya.

Masyarakat diimbau untuk proaktif datang memeriksakan kesehatannya. Tidak hanya saat sakit saja, namun dalam kondisi sehat pun perlu melakukan pengecekan.

Sebab penyakit TBC sangat menular dan berisiko tinggi menyebabkan kematian. Untuk penanganan yang lambat dapat berakibat fatal, yaitu cacat pada saluran pernafasan.

Baca juga: Penanganan TBC berpotensi alami kemunduran karena pandemi, kata pakar

Baca juga: Kemenkes perkuat kesinambungan penanganan TBC dan COVID-19

 

Pewarta: Susanti Sako
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021