"Paling penting sekarang masyarakat harus tahu mereka ada di mana, risiko dan strategi apa yang harus dilakukan kalau terjadi bencana," kata Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati dalam seminar internasional literasi sejarah kebencanaan sebagai warisan ketangguhan masa lalu, kini dan nanti, di Ambon, Rabu.
Seminar tersebut digelar untuk memeriahkan peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Tahun 2021 yang dipusatkan di Kota Ambon.
Ia mengatakan Indonesia memiliki potensi kebencanaan yang cukup tinggi, salah satunya adalah gempa karena menjadi bagian dari wilayah cincin api Pasifik.
Menurut dia, dampak korban jiwa, sosial ekonomi, termasuk kerusakan infrastruktur yang dihasilkan, perlu diantispasi.
Karena itu, ujarnya, sosialiasi kebencanaan dan bagaimana memitigasi bencana harus gencar dilakukan agar masyarakat lebih siap dalam menghadapinya.
"PR kita bersama adalah bagaimana masyarakat yang hidup di wilayah berisiko tinggi atau rawan bencana tahu menyelamatkan dirinya," ujar dia.
Dikatakannya lagi, seminar internasional tentang literasi kebencanaan di Ambon dalam rangka PRB Dunia diperingati setiap 13 Oktober. Kegiatan itu digelar sebagai respons terhadap upaya mitigasi bencana.
"Menjadi tanggung jawab bersama dari pemerintah, khususnya BNPB, memberikan pemahaman risiko bencana melalui sosialisasi dan memberikan kesadaran kepada masyarakat," ujar Raditya Jati.
Gubernur Maluku Murad Ismail dalam sambutannya yang dibacakan oleh Staf Ahli Gubernur Maluku Margareth Samson mengatakan Maluku dalam sejarahnya pernah terkena tsunami pada 1950. Peristiwa itu dikisahkan secara turun-temurun dalam lagu "banjir galala".
Tsunami dahsyat tahun 1950 yang menimpa Desa Galala - Hative Kecil masih terus diperingati oleh warga setempat dalam ibadah syukur setiap tanggal 8 Oktober.
Ibadah syukur juga menjadi cara bagi mereka untuk menyadari bahwa wilayahnya rawan bencana, dan di masa lalu para leluhur telah mengalaminya.
"Kami berharap sejarah kebencanaan juga dapat diterjemahkan dan memenuhi perpustakaan kami di sini," katanya.
Ibadah syukur juga menjadi cara bagi mereka untuk menyadari bahwa wilayahnya rawan bencana, dan di masa lalu para leluhur telah mengalaminya.
"Kami berharap sejarah kebencanaan juga dapat diterjemahkan dan memenuhi perpustakaan kami di sini," katanya.
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021