Gde Panjta ketika memberi keterangan ahli dalam Sidang Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021, yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu mengatakan bahwa berbagai ahli memandang metode "Omnibus law" sebagai jalan cepat dalam mengurai dan membenahi regulasi yang banyak bermasalah.
Hal tersebut dikarenakan oleh esensi dari "Omnibus law" adalah untuk menyasar tema atau materi besar di suatu negara, dan substansi dari peraturan yang melalui metode "Omnibus law" merupakan hasil dari revisi dan atau pencabutan beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.
"Cara ini lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan penyelesaian dengan menggunakan mekanisme regulasi biasa atau law by law," ujar Gde Panjta.
Baca juga: Ahli sebut metode 'omnibus law' atasi kebuntuan dalam uji UU Ciptaker
Baca juga: Menko Airlangga: Omnibus Law upaya pemerintah sediakan lapangan kerja
Menggunakan mekanisme regulasi biasa, menurut Gde Panjta, menyita waktu, pikiran, tenaga, dan dapat menyita lebih banyak anggaran. Apalagi, dalam pembahasan suatu peraturan undang-undang, sering kali pembahasan menemui jalan buntu atau mengalami deadlock.
"Karena dinamika di dalam parlemen yang sarat dengan berbagai kepentingan," ucap dia.
Dengan demikian, ia menyatakan bahwa, dalam hakikatnya, "Omnibus law" merupakan suatu produk hukum yang berisi lebih dari satu materi atau isi bertema ketatanegaraan yang bersifat substansial, dengan merevisi atau mencabut berbagai peraturan yang terkait, sehingga menjadi satu peraturan baru yang holistik.
"Sehingga menjadi sangat tidak beralasan untuk tidak menggunakan metode 'Omnibus law' sebagai cara untuk melakukan reformasi terhadap regulasi yang 'hiper' dan bermasalah," ujar Gde Panjta.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021