"Pertama tentang prinsip. Menurut kami apapun kebijakan dan administrasi yang akan diambil harus didasarkan pada prinsip perpajakan yang baik, bagaimana netralitas, efektifitas, keadilan dan stabilitas menjadi prinsip," kata Prastowo dalam Dialog Publik daring di Jakarta, Kamis.
Dalam UU HPP, pemerintah mengintegrasi Nomor Induk Kependudukan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini merupakan terobosan signifikan karena akan membantu pemerintah melakukan reformasi administrasi perpajakan di tengah perkembangan teknologi digital.
Baca juga: Kemenko: Ekonomi tegaskan NIK bukan syarat penarikan pajak
"Dan bagi WP akan lebih mudah dan efisien. Dan dalam konsep big data ini akan mempermudah, karena filosofi pajak mengawinkan siapa melakukan apa, agar lebih cepat dan akurat," ucapnya.
Di samping itu, dalam aturan yang sama, pemerintah juga telah mengatur tentang penunjukkan pihak lain untuk memungut pajak melalui Pasal 32a UU HPP.
"Ini juga memberikan landasan hukum yang lebih kuat, termasuk nanti platform digital dan market place sudah dibuatkan dasar hukum bagaimana harus menjadi pemotong atau pemungut. Ini juga demi kesederhanaan," katanya.
Baca juga: Wamenkeu: Penerimaan negara perlu ditingkatkan, biayai kelas menengah
Ia meyakini dengan sistem ini platform digital dan market place lebih mudah diajak bekerja sama untuk melakukan pemungutan perpajakan. Ia mengklaim sistem ini lebih efektif, efisien, dan tidak mengganggu bisnis market place.
"Ini semua juga ditopang oleh pengaturan baru tentang PPN (Pajak Pertambahan Nilai) final. UU HPP memberikan payung di pasal 9a agar pemajakan lebih sederhana untuk sektor atau barang jasa tertentu sehingga mempermudah pelaku usaha," ucapnya.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021