Direktur Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, menjelaskan perjanjian RCEP sebenarnya tidak akan banyak membuka ruang yang lebih besar untuk liberalisasi pasar dikarenakan komitmen liberalisasi dalam RCEP lebih rendah dibandingkan dengan ASEAN+1 FTA.
Dalam rujukan studi koalisi menyebutkan hasil studi Ekonom Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and Development, UNCTAD) menyatakan bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi barang RCEP akan memperburuk neraca perdagangan ASEAN, termasuk Indonesia, dimana peningkatan impor hampir semua negara ASEAN bersumber dari China.
Penelitian tersebut menghitung negara-negara ASEAN bersama-sama akan kehilangan sekitar 8,5 miliar dolar AS per tahun pasca RCEP diratifikasi dalam neraca perdagangan barang mereka.
“Fakta ini jauh dari ekspektasi pemerintah yang mengklaim bahwa melalui RCEP akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia pasca RCEP diratifikasi. Peningkatan nilai defisit perdagangan dapat memperburuk membengkaknya neraca pembayaran Indonesia yang pada akhirnya menyempitnya ruang fiskal negara untuk dapat mengalokasikan anggaran negara untuk kepentingan rakyat," kata Rachmi.
Rachmi menilai optimisme pemerintah atas harapan Indonesia untuk menjadi pemain dalam Regional Value Chains (RVC) di kawasan RCEP sangat dipertanyakan keberhasilannya dan memiliki konsekuensi terhadap dampak dari kompetisi race to the bottom diantara negara ASEAN itu sendiri. Terlebih RVC lebih fokus pada bentuk efisiensi produksi dengan mempertimbangkan opsi pada sumber terhadap bahan baku dan biaya tenaga kerja lebih murah lagi.
Manfaat yang akan didapatkan oleh Indonesia dari Regional Value Chains dalam kerjasama RCEP dinilai tidak terjadi dengan serta merta dengan hanya ikut meratifikasi Perjanjian Dagang RCEP. Menurutnya, masih ada faktor utama lainnya yang dapat mempengaruhi keberhasilan Indonesia untuk bisa memanfaatkan RCEP, yaitu faktor investasi dari perusahaan-perusahaan terkemuka di negara-negara industri maju.
Rachmi menilai menarik investasi akan menjadi persaingan di antara negara ASEAN, khususnya dengan Vietnam dan Malaysia yang dikenal dengan negara yang bagus untuk investadi karena efisien.
Dia menjabarkan ada empat syarat yang menjadi nilai tawar bagi investor, yaitu negara yang dapat menawarkan biaya produksi yang paling efisien, seperti tenaga kerja yang murah, kemudahan pajak, dan akses terhadap sumber daya alam.
“Pastinya agenda RVC ini akan menjadi persaingan menuju ke bawah (race to the bottom) yang mengorbankan masyarakat, khususnya hak-hak buruh dan dampak luas terhadap kehidupan rakyat atas praktek ekstraksi sumber daya alam. Apalagi, syarat untuk fasilitasi iklim investasi adalah dengan deregulasi khususnya terkait dengan kebijakan upan dan efisiensi tenaga kerja. Dan ini sudah dilakukan melalui pengesahan UU Cipta Kerja yang kembali menjadikan buruh sebagai tenaga berupah murah dan fleksibel”, jelas Rachmi.
Ancaman terhadap buruh juga dinilai menjadi perhatian khusus dalam pengaturan RCEP tentang Bab Pergerakan Orang. Koordinator IGJ Muslim Silaen menjelaskan bahwa Bab Pergerakan Orang pada Perjanjian RCEP akan membuka tren Inter-Corporate Transfer (ICT) yang menggunakan pekerja asing berbakat untuk menunjang efisiensi penggunaan teknologi di Indonesia.
Namun, Muslim menilai aturan ini akan berpotensi menghasilkan masalah ketenagakerjaan seperti kegagalan alih teknologi, berkurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia akibat masuknya pekerja dari luar negeri untuk sektor yang diliberalisasi, potensi pekerja hanya berdasarkan sertifikasi, tidak akan mendukung terjadinya alih teknologi kepada pekerja Indonesia.
“Untuk bisa bersaing dalam perdagangan jasa tentu dari RCEP, Indonesia harus mencetak pekerja yang memiliki tenaga ahli, ini karena tren investasi yang masuk selalu disertai dengan teknologi yang tidak dikuasai oleh tenaga kerja Indonesia.
Sehingga perusahaan asing tersebut akan menggunakan tenaga kerjanya sendiri dalam mengoperasikan teknologinya. Kemampuan untuk bisa memaksimalkan RCEP membutuhkan kualitas SDM termasuk pendidikan," jelas Muslim.
Negara-negara anggota RCEP adalah 10 negara anggota ASEAN bersama dengan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Perjanjian dagang RCEP ditandatangani pada 15 November 2020 yang diselenggarakan secara virtual.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021