Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada 25-26 September 2021 menyepakati penentuan kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar Ke-34 NU melalui dua cara. Pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan dengan pemungutan suara one man one vote (satu orang satu suara), sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan secara perwakilan (ahlul halli wal aqdi).
Jalan yang sama
Setiap periode kepengurusan di PBNU, menyisakan jejak yang tidak sama. Tapi jelas, jalannya adalah jalan yang sama. Jam'iyyah yang sama. Bahkan, boleh jadi jama'ah yang sama. NU itu, reputasinya di (1) jaringan dan (2) komunitas. Dalam terminologi tarikhiyah; disebut sanad dan jama'ah. Sanad adalah jaringan ulama dan jama'ah adalah jaringan umat.
Sanad, ya jejak itu tadi. Maka, tanpa sanad, NU pasti kehilangan jati dirinya. Akan dirasakan ada sesuatu yang lepas. NU dibangun di atas rantai sanad yang diyakini musalsal tiada terputus. Dari para muassis hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, setiap pengkhidmatan, nawaytunya lillaahi ta'alaa dan sandarannya adalah sanad. Setiap langkah politik, kenegaraan atau keumatan, mesti berdasar sanad.
Sanad ini, juga berkorelasi dengan keniscayaan penyiapan regenerasi. Dari Salaf Saleh NU mengambil model kaderisasi untuk terbangunnya regenerasi yang berujung suksesi manuthun bil maslahah. Sesuatu yang jamak terjadi alias alamiyah. Para Sahabat mengambil model kepemimpinan Nabi, yang lalu dilanjutkan oleh Tabi'in--para murid Sahabat. Para murid Sahabat membangun jaringan sehingga lahir para Atba' Tabi'in.
Khidmah kiai
Begitu pula yang terjadi di lingkungan NU. Regenerasi kepemimpinan berlangsung natural dan tradisional. Secara kasat mata, seperti tidak terkonsep. Sejarah keterpilihan H Hasan Gipo, Ketua Umum pertama PBNU, jauh dari persyaratan tertentu dan kualifikasi khusus. Beliau seorang pedagang yang tajir. Dekat dengan KH Wahab Hasbullah; salah seorang pendiri NU. Cakap mengelola organisasi. Yang khas adalah dia pengabdi para kiai.
Demikian yang dialami para suksesornya, yaitu KH Idham Chalid, KH Abdurrahman Wahid, KH A Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj. Semua duduk di kursi Ketua Umum atas dasar like, tidak ada unsur dislike. Di-like para kiai, terutama majelis syuriyah dan kiai sepuh. Like di sini bermakna restu. Restu kiai itu modal utama. Kenapa mereka dapat restu? Karena ketulusan khidmah yang panjang kepada ulama.
Nama-nama seperti Said Agil Husin Al Munawar, As'ad Said Ali, Masdar Farid Mas'udi, Nasaruddin Umar, Said Aqil Siradj, adalah contoh para pengabdi kiai. Kebiasaan, kegemaran dan ketulusan mengabdi, terbagun sejak belia, sejak di keluarga, ranting hingga pengurus pusat. Hal ini jamak dialami semua nahdliyin--warga NU. Jaringan santri dengan kiainya di sudut-sudut kampung, adalah entitas kecil NU paling bawah. Ikatan Cinta dunia akhirat.
Itulah kenapa suka muncul adagium, NU adalah oraganisasi keagamaan dan kemasyarakatan/keumatan. Urusannya agama dan umat. Umat itu urusannya dunia akhirat. Maka jalinan batin antara kiai, ulama, habaib, dengan umatnya di NU, berlangsung dunia akhirat. Kalau ada pasangan berjanji sehidup semati, maka hubungan ulama dengan umat tak terputus karena ajal. Lihatlah, betapa tahlilan, manaqiban, barzanjian, diba'an, yasinan, istighotsah, sholawatan, maulidan, selalu ramai. Itulah ajang temu dua alam, dunia dan barzakh.
Kelahiran 1950-an
Karena kepentingan dua alam itulah, maka NU, insyaallah, akan selalu ada hingga kiamat. Paling tidak, nilai dan ajarannya akan terus dijaga dan terjaga, lewat jaringan umat, terutama kader. Di tangan para kader, regenerasi dijamin bisa tetap terjaga. Pada setiap kurun, NU selalu menyediakan kader dengan jumlah yang melimpah. Lihatlah! Ketika Gus Dur lengser, kalangan luar NU cemas akan penggantinya.
Tapi terbukti, satu lapis di bawah Gus Dur, sudah muncul nama-nama yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. KH A Hasyim Muzadi, contohnya. Di era Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi banyak nama sekaliber muncul. Sebutlah Achmad Bagdja (DPA), M Rozy Munir (Menneg BUMN), Muhyiddin Arubusman (DPR). Nama lain adalah Ichwan Syam, Abduh Paddare, Anwar Nuris, Tosari Widjaja, Fahmi D Saifuddin, Cecep Syarifuddin, Manarul Hidayat, A Wahid Zaini, Mustofa Zuhad Mughni, Fajrul Falaakh, Endang Turmudi, Malik Madany, dan lain-lain.
Mereka sudah purna tugas dan sebagian besar sudah wafat. Bahkan, lapisan selanjutnya, generasi saat ini, pergerakannya mulai terbatas karena faktor usia. Beberapa kader seangkatan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, sudah tidak lagi terlibat secara struktural. Sebagian berada di posisi A'wan, tapi sebagian besar lainnya sudah membaur di tengah-tengah umat atau kembali ke dunia pesantren.
Berikut sejumlah nama kader yang lahir pada dasawarsa 50-an, di antaranya As’ad Said Ali (19 Desember 1949), Said Aqil Siradj (3 Juli 1953), Masdar Farid Mas’udi (1954), M Maksum Machfoed (23 Juni 1954), Ali Maschan Moesa (1 Januari 1956), Andi Muawiyah Ramly (10 Oktober 1957), Mohammad Mahfud MD (13 Mei 1957), Masykuri Abdillah (22 Desember 1958), Mohammad Nuh (17 Juni 1959), Mutawakkil 'Alallah (22 April 1959), Nasaruddin Umar (23 Juni 1959), dan Mohammad Fajrul Falaakh (2 April 1959).
Kelahiran 1960-an (The Lost Generation?)
Generasi Kiai Said Aqil Siradj sudah di ujung senja. Kemudi lokomotif selanjutnya akan dipegang generasi NU kelahiran 1960-an. Gerbong ini memuat puluhan kader potensial, bahkan mungkin ratusan, hingga ke level wilayah dan cabang. Mereka ditempa, dipersiapkan dan akan mendapat panggilan sejarah untuk memimpin nahdliyin satu dekade ke depan. Mereka adalah hasil kaderisasi PBNU pimpinan KH Hasyim Muzadi dan PBNU pimpinan KH Said Aqil Siradj.
Andi Jamaro Dulung (12 Desember 1960), Endin A.J Sufihara (17 November 1960), Akhmad Muqowam (1 Desember 1960), Saifullah Ma'shum (25 November 1960), Lukman Hakim Saifuddin (25 November 1962), Ali Masykur Musa (12 September 1962), Imam Aziz (29 Maret 1962), Abdul Halim Iskandar (14 Juli 1962), Achmad Effendy Choirie (17 Juni 1963), Marsudi Syuhud (7 Februari 1964), dan Saifullah Yusuf (28 Agustus 1964).
Kemudian Arvin Hakim Thoha (25 Oktober 1964), An'im Falahuddin Mahrus (06 Juni 1964), Yahya Cholil Staquf (16 Februari 1966), Marzuqi Mustamar (22 September 1966), Amin Said Husni (19 Agustus 1966), Muhaimin Iskandar (24 September 1966), Khatibul Umam Wiran (10 Februari 1966), Ulil Abshar-Abdalla (11 Januari 1967), dan Andi Najmi Fuadi (21 September 1968).
Gerbong kelahiran 1960-an ini panjang sekali. Bagi yang lahir 1960 ke atas, maka di muktamar ke 35, mereka akan berumur "kepala 6". Sudah terlalu tua untuk bisa maksimal menyetir roda organisasi. Jangan berharap mereka bisa bermanuver menyelamatkan jama'ah, membuat jam'iyah kompetitif saja, tidak akan mudah. Menyimak data ini, kepemimpinan NU lima tahun ke depan, sebaiknya berada di tangan kader kelahiran 1960 ke bawah, yakni 1965 hingga 1969.
Jika kesempatan mereka ini lewat, maka akan lewat pula kepemimpinan satu "generasi" dari gerbong panjang ini. Mereka akan tergolong the lost generation. Hal itu bisa terjadi, kalau generasi di atasnya tidak suka rela menyerahkan kesempatan itu dan atau karena desakan lingkar dalam tertentu, sehingga mereka merasa masih bersesuaian menaklukkan milenium ketiga. Sebab, setelah satu kali muktamar ke depan, satu lapisan generasi terbaru siap menyongsong.
NU Satu Abad
Mereka masih berstatus mahasiswa saat KH Said Aqil Siradj memimpin PBNU. Mereka adalah komunitas anak muda NU yang sudah matang saat era millenial datang. Mereka akrab dengan gawai. Mereka sangat memahami ilmu angka-angka, statistika, diagram, dan ilmu kelengkapan lainnya. Sejumlah nama bahkan sudah teruji dan sukses menjadi kepala daerah. Ukuran sukses mereka tidak saja di lingkup badan otonom NU, tetapi sudah lintas sektoral.
Sebutlah Abdullah Azwar Anas sebagai contoh. Eks ketua umum IPNU. Di sejumlah daerah, tidak sedikit anak-anak muda NU yang ambil peran-peran politik, kenegaraan, dan kemasyarakatan. NU Satu Abad akan berada di tangan mereka. Sudah ada sejumlah nama, di antaranya: Irsyad Yusuf (10 November 1970), Jazilul Fawaid (5 Desember 1971), Marwan Jafar (12 Maret 1971), dan Ahmad Fahrur Rozi (30 November 1971).
Kemudian Helmy Faishal Zaini (1 Agustus 1972), Muhammad Hanif Dhakiri (6 Juni 1972), Maman Imanul Haq (8 Desember 1972), Abdul Malik Haramain (3 Mei 1972), Juri Ardiantoro (6 April 1974), dan Abdul Ghafur Maemun (16 Maret 1973).
Abdullah Azwar Anas (6 Agustus 1973), Nusron Wahid (12 Oktober 1973), Nadirsyah Hosen (8 Desember 1973), Muhammad Yusuf Chudlori (9 Juli 1973), Abdul Kadir Karding (25 Maret 1973), M Romahurmuziy (10 September 1974), Yaqut Cholil Qoumas (4 Januari 1975), Asrorun Ni’am Sholeh (31 Mei 1976), dan
Abdul Ghofarrozin (31 Juli 1976).
Kader di bawah kelahiran 1970, sudah mulai mengintip. Yang paling terang adalah putra Mbah Kiai Maemun Zubaer, yakni Gus Taj Yasin Maimoen yang lahir pada 2 Juli 1983. Saat ini wakil gubernur Jawa Tengah.
Demi kelancaran, kemantapan kaderisasi dan generasi, ada baiknya generasi kelahiran 1960 menyatukan sikap. Menyadari sepenuhnya panggilan sejarah dan tanggung jawab generasi, demi tersiapkannya landasan generasi penerus menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama.
*) Ishaq Zubaedi Raqib, wartawan senior, pemerhati sosial politik
Pewarta: Ishaq Zubaedi Raqib *)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021