"Kecenderungan pola pendidikan di sekolah masih diwarnai unsur `kekerasan` terhadap anak," katanya usai seminar `stop kekerasan dan eksploitasi anak", di Semarang, Kamis.
Menurut dia, unsur kekerasan yang dimaksudkan adalah pemaksaan dan tekanan untuk anak agar mau belajar, setidaknya menyebabkan anak-anak masuk sekolah karena kedua unsur tersebut.
Ia mengatakan pendidikan adalah hak anak, bukan kewajiban anak, namun hal itu belum banyak dipahami oleh kalangan sekolah di Indonesia sehingga seolah muncul keterpaksaan.
Kecenderungan yang terjadi, kata dia, anak-anak biasanya lebih suka jika jam pelajaran sekolah kosong karena gurunya rapat misalnya, atau saat memasuki masa liburan sekolah.
Namun, kata Kak Seto yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak itu, saat kembali masuk sekolah, anak-anak cenderung merasa tertekan dan enggan untuk menjalaninya.
"Ini terjadi karena mereka (anak-anak, red) tidak tenang, tidak nyaman, dan merasa tertekan saat masuk sekolah. Ini mengindikasikan sekolah belum menjadi tempat yang nyaman," katanya.
Ia memperkirakan setidaknya masih sekitar 70 persen sekolah yang belum ramah anak, di antaranya belum menerapkan program pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan menyenangkan.
"Pola pembelajaran seperti itu (aktif, kreatif, dan menyenangkan, red.) sepertinya belum bisa diperoleh di sekolah di Indonesia. Selama ini hal itu masih sebatas impian," katanya.
Selain unsur kekerasan di sekolah, kata dia, lingkungan keluarga selama ini turut memperparah tekanan terhadap kondisi psikologis anak, seperti tindakan kekerasan di lingkungan keluarga.
"Masih banyak ibu-ibu yang menjewer, memukul, dan sebagainya. Ini sangat tidak baik, sebab jika mereka besar akan memperlakukan anaknya kelak dengan perlakuan yang sama," katanya.
Menurut dia, pola pendidikan dalam berbagai lingkungan semacam inilah yang menyebabkan rantai kekerasan tidak pernah akan bisa terputus dari satu generasi ke generasi lainnya.
Terkait tindak kekerasan, Kak Seto menyebutkan ada tiga jenis yang sering diterima laporannya di Komnas Perlindungan Anak, yakni kekerasan fisik, seksual, dan psikis.
"Pelakunya ternyata tak hanya dari orang asing yang tidak dikenal, namun ada pula yang dari lingkungan keluarga, seperti orang tua, kerabat, hingga guru di sekolag," katanya.
Karena itu, kata Kak Seto, pola pendidikan terhadap anak harus diubah, dari semula menekankan unsur kekerasan menjadi penekanan rasa kasih sayang terhadap anak. (ZLS/M008/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011