• Beranda
  • Berita
  • Mengulas faktor risiko, gejala, dan pengobatan kanker payudara

Mengulas faktor risiko, gejala, dan pengobatan kanker payudara

20 Oktober 2021 13:56 WIB
Mengulas faktor risiko, gejala, dan pengobatan kanker payudara
Ilustrasi - Pita pink sebagai simbol internasional yang melambangkan peringatan dan kepedulian terhadap kanker payudara (Pixabay)
Penyebab kanker payudara hingga saat ini belum diketahui secara pasti tapi sangat bergantung pada hormon estrogen yang ada di dalam tubuh, kata dokter spesialis bedah onkologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Bob Andinata Sp.B(K) Onk.

Meski demikian, lanjut dr. Bob, kanker payudara dapat dicegah dengan memperhatikan dan memahami faktor resiko serta melakukan skrining dan deteksi dini.

Baca juga: Dokter ingatkan pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara

"Kita sulit mencegah kanker payudara, tapi kita bisa nememukannya pada stadium awal. Pasca menjalani treatment yang tepat, maka angka kesembuhannya akan tinggi," ujarnya beberapa waktu lalu.

Faktor risiko

Faktor risiko kanker payudara terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan tidak dapat diubah

Faktor risiko yang tidak dapat diubah, kata dr. Bob, jika penderita adalah wanita, berusia lebih dari 50 tahun, memiliki keluarga dengan riwayat kanker, mengalami menstruasi pertama di bawah 12 tahun, dan menopause di atas 55 tahun.

Sementara faktor risiko yang dapat diubah adalah tidak menikah, tidak punya anak, tidak menyusui, penggunaan kontrasepsi hormonal selama 10 tahun terakhir, dan obesitas.

Meski kebanyakan penderitanya adalah kaum wanita, dr. Bob mengatakan, kanker payudara juga bisa dialami kaum pria.

"Kanker payudara pada pria itu ada sedikit keganjilan untuk penyebabnya. Biasanya penyebabnya pada pasien yang obesitas dan mungkin ada kerusakan dari testis. Jadi seringkali pasien kanker payudara pada pria itu kami periksa juga testisnya," kata dr. Bob.

Sementara itu, spesialis onkologi radioterapi dari FKUI dr. Ade Margaretha L. T Sp.Onk.Rad menambahkan bahwa faktor risiko lain yang dapat diubah adalah kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol, dan diet yang tidak tepat.

Baca juga: 80 persen wanita salah pilih ukuran bra

Baca juga: Dokter: Kanker payudara dapat terjadi pada pria dan bisa lebih ganas

 

Gejala

Kebanyakan kanker payudara berawal dari saluran yang membawa ASI ke puting, demikian dr. Ade.

Adapun gejala klinis lain dari kanker payudara selain adanya benjolan, kata dr. Ade, adalah pembengkakan pada seluruh payudara, skin dimpling (kulit payudara menjadi seperti permukaan kulit jeruk), nyeri pada payudara atau puting, retraksi puting (puting tertarik ke dalam), keluarnya cairan dari puting, pembengkakan kelenjar getah bening, dan puting atau kulit payudara menjadi merah, kering, atau menebal.

Sedangkan menurut dr. Bob, kanker payudara biasanya berawal dari benjolan tanpa rasa nyeri sehingga kebanyakan orang merasa tidak perlu memeriksakan diri ke dokter.

"Kalau nyeri, biasanya pasien cepat memeriksakan diri. Padahal kalau benjolan sudah nyeri, bisa jadi sudah masuk ke stadium 3 atau 4," ujar dr. Bob.

Untuk mengetahui apakah Anda menderita kanker payudara, Anda dapat melakukan SADARI (Periksa Payudara Sendiri) dan SADANIS (Periksa Payudara Klinis) dengan bantuan tenaga kesehatan.

Pemeriksaan SADARI dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama, angkat tangan sambil bercermin dan periksa apakah ada kemerahan atau bengkak di payudara. Cara keedua, menekan payudara dari atas ke bawah atau melingkar dan rasakan apakah ada benjolan. Cara ketiga, tekan payudara ke arah puting dan lihat apakah ada cairan yang keluar.

Baca juga: YKPI: Setiap 30 detik ditemukan kasus baru kanker payudara di dunia

Pengobatan

Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi onkologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM, mengatakan, kanker payudara merupakan jenis kanker yang memiliki sifat dan perilaku berbeda antar tiap kasus sehingga mempengaruhi keputusan pengobatan.

"Ini memang ciri khas kanker payudara. Antara satu pasien dengan pasien lain, sama-sama kanker payudara dan berada di stadium yang sama, pengobatannya bisa berbeda. Tapi sebetulnya, garis besarnya mirip," kata dr. Jeffry.

Ada tiga golongan besar kanker payudara, menurut dr. Jeffry. Pertama, tipe hormonal atau yang memiliki reseptor hormon. Kedua, tipe HER2 yang memiliki reseptor HER2 positif. Ketiga, tipe Triple Negatif yang tidak punya reseptor apapun.

Kemudian, tingkat stadium kanker payudara juga terbagi menjadi tiga yaitu early (kanker belum mengenai kelenjar getah bening), locally advance (kanker sudah mengenai kelenjar getah bening), dan metastatis (kanker stadium 4 yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya).

dr. Jeffry mengatakan, pendekatan pengobatan kanker payudara saat ini sudah sangat berbeda dengan 10 hingga 15 tahun lalu.

"Saat ini kita sudah dalam protokolnya untuk menggunakan terapi sistemik di depan. Berbeda dengan dulu yang langsung diangkat kemudian pengobatan sistemiknya di belakang," ujarnya.

Dia melanjutkan, jika ukuran benjolannya kecil yakni kurang dari 1-2 sentimeter, maka benjolan dapat langsung diambil. Namun, jika ukuran benjolan lebih dari 2 sentimeter atau ada kelenjar getah bening yang terlibat, maka langkah pertamanya adalah biopsi.

"Jadi biopsi hanya diambil sampelnya dulu, bukan diambil benjolannya atau diangkat getah beningnya. Sampelnya dikirim ke laboratorium untuk melihat perilaku dari kanker ini. Setelah diketahui hasilnya, kita lakukan induksi sistemik terapi, bisa berbentuk hormonal atau kemoterapi," jelas dr. Jeffry.

Dengan melakukan terapi sistemik di awal, dr. Jeffry mengatakan, hal tersebut bertujuan agar mendapatkan suatu kondisi yang disebut pathologic complete response, yaitu tidak ada kanker yang terdeteksi usai menjalani pengobatan.

"Kita ingin saat area benjolan diangkat, kankernya sudah bersih. Sehingga, angka kekambuhannya lebih kecil," jelas dr. Jeffry yang kemudian menekankan bahwa pelaksanaan terapi sistemik di awal bukan berarti meniadakan operasi.

dr. Ade menambahkan, bahwa setelah melakukan serangkaian pengobatan, kondisi pasien tetap harus dipantau setiap 3-4 bulan sekali sampai dua tahun, kemudian setiap 6 bulan sampai 5 tahun.

Berdasarkan data The Global Cancer Observatory, kanker payudara telah menjadi penyebab kematian kedua di Indonesia pada 2020, dengan kasus baru yang hampir menyentuh angka 66.000.

Sedangkan data terbaru Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kanker payudara menempati urutan teratas daftar kasus baru untuk penyakit kanker serta semua penyakit tidak menular lainnya. Selain itu, empat dari lima perempuan yang menjalani skrining sudah menderita kanker payudara baik stadium lanjut atau metastasis.


Baca juga: Cerita Nissa temukan benjolan saat menyusui yang ternyata kanker

Baca juga: Mengapa wanita yang tak pernah hamil berisiko kena kanker payudara?

Baca juga: Wakil Ketua MPR dorong pasien kanker payudara dengarkan nasihat dokter

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021