Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menyatakan bahwa langkah penyederhanaan hambatan nontarif atau non-tariff measures (NTM) pada kebijakan perdagangan pangan akan dapat meningkatkan status gizi dan mengatasi stunting.Hambatan nontarif hanya menambah biaya impor pangan dan menaikkan harga pangan di pasar domestik
"Salah satu cara meningkatkan keterjangkauan pangan (guna mengatasi stunting) adalah dengan penyederhanaan kebijakan nontarif, kebijakan perdagangan selain tarif yang dapat mempengaruhi harga atau jumlah barang yang diperdagangkan secara internasional. Hambatan nontarif hanya menambah biaya impor pangan dan menaikkan harga pangan di pasar domestik," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Ia memaparkan, walau harga pangan relatif stabil selama pandemi, namun daya beli masyarakat yang melemah akan mendorong pola konsumsi ke makanan yang lebih terjangkau walaupun tidak bernutrisi sehingga berpotensi mengakibatkan stunting.
"Keterjangkauan makanan bernutrisi perlu menjadi prioritas pemerintah selama dan sesudah pandemi COVID-19, baik melalui penurunan harga maupun peningkatan daya beli," ucapnya.
Untuk itu, ujar dia, intervensi perlu dilakukan dari berbagai arah untuk memperbaiki status gizi, dengan menjadikan penurunan daya beli menjadi variabel tambahan dalam melihat keterjangkauan masyarakat pada pangan.
CIPS merekomendasikan peninjauan ulang kebijakan nontarif yang melibatkan pemangku kepentingan lintas kementerian dan lembaga di sektor pangan dan pertanian agar memungkinkan penyederhanaan regulasi untuk mencegah tumpang tindih berlebihan. Berkurangnya hambatan pada kebijakan pangan, memungkinkan masyarakat menikmati pangan bermutu dan beragam dengan harga terjangkau.
Guna mengatasi stunting, sejumlah instansi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama-sama lembaga FoodBank of Indonesia (FoI) membuat kampanye bertajuk "Bikin Dapur Ngebul" yang bertujuan untuk menggencarkan konsumsi ikan guna mencegah stunting di tengah masyarakat.
"Kurangnya asupan gizi menyebabkan beberapa permasalahan di masyarakat, seperti gagal tumbuh (stunting), menurunnya kemampuan kognitif akibat terhambatnya perkembangan otak, dan rendahnya imunitas tubuh sehingga tubuh rentan terhadap serangan penyakit," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Artati Widiarti.
Bersama dengan FoI, Artati menyebut jajarannya telah menyusun rencana aksi "Bikin Dapur Ngebul, Bikin Anak Unggul #IUAK (Ikan Untuk Anak), Olahan Ikan Lokal".
Kegiatan tersebut, lanjutnya, juga didukung oleh Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada dan akan dilaksanakan di tujuh Provinsi (13 Kabupaten/Kota) yaitu DKI Jakarta (Kota Jaksel, Kota Jaktim, Kota Jakut, Kota Jakpus, Kota Jakbar), Jawa Barat (Kab. Cirebon, Kab. Bogor), Banten (Kab. Tangerang), Jawa Tengah (Kab. Wonosobo), Jawa Timur (Kota Surabaya, Kab. Probolinggo), NTB (Kab. Lombok Tengah), Maluku (Kota Ambon).
"Kerja sama ini sekaligus penguatan untuk program gerakan memasyarakatkan makan ikan (Gemarikan) yang memang fokus pada prioritas penanganan stunting (Perpres 72/2021) dan penguatan peran Forikan dengan terbitnya Kepmen KP 91/2021," terang Artati.
Selain itu, Kementerian Perindustrian juga berupaya menjalankan berbagai program untuk mencegah stunting, di antaranya dengan mendorong konsumsi sumber makanan yang sehat, aman, dan beragam, serta kaya terhadap kandungan gizi mikro.
Pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun 14 persen pada tahun 2024. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2014 berada pada angka 37 persen dan berhasil ditekan hingga mencapai angka 27,6 persen pada 2019.
Baca juga: Mendag: PMI manufaktur RI tunjukkan optimisme peningkatan ekspor
Baca juga: Menko Airlangga: Perizinan tantangan utama transparansi perdagangan
Baca juga: Kemendag butuh dukungan kementerian lain, rumuskan hambatan nontarif
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021