"Ini adalah kerja bersama, mulai dari pemerintah sampai masyarakat bahkan ke anaknya. Kita harus mendengar dan melihat apa kebutuhan anak," kata Fitra dalam webinar "Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak", Jumat.
Dengan menyebarkan kesadaran itu, praktik-praktik eksploitasi anak yang selama ini dianggap lazim dapat dicegah dan dihentikan.
"Kesadaran dan kolaborasi serta sinergi bersama sangat penting," katanya.
Wisata yang ramah anak mengedepankan keharmonisan nilai kultural dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat dengan aktivitas kepariwisataan serta punya sistem dan mekanisme untuk melindungi anak-anak yang ada di destinasi wisata terbebas dari segala bentuk eksploitasi.
Ini adalah kondisi dimana anak-anak yang ada di destinasi wisata tidak jadi pekerja anak yang membahayakan tumbuh kembangnya, tidak jadi objek eksploitasi secara seksual oleh para turis, domestik atau mancanegara.
Fitra menuturkan, fenomena kasus kekerasan dan eksploitasi anak di daerah wisata bagai gunung es, hanya sebagian kecil kasus yang dilaporkan dan diselesaikan secara tuntas. Praktik kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan wisatawan berlangsung di sejumlah destinasi wisata dengan memanfaatkan fasilitas pariwisata.
Ini merupakan kejahatan yang dilakukan individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia, tak cuma Indonesia.
"Maka, perlu dibangun perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan," kata Fitra.
Berdasarkan hasil penelitian dan asesmen oleh ECPAT Indonesia bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2016-2017 di 10 destinasi wisata, ditemukan fakta praktik kekerasan dan eksploitasi seksual oleh wisatawan terhadap anak-anak. Destinasi wisata yang diteliti adalah pulau Seribu di DKI Jakarta, Karang Asem di Bali, Gunung Kidul di Yogyakarta, Garut di Jawa Barat, Bukit Tinggi di Sumatera Barat, Toba Samosir dan Teluk Dalam di Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian ECPAT (Ending The Sexual Exploitation of Children) Indonesia pada 2015, kasus kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan wisatawan juga terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kefamehahu Nusa Tenggara Timur dan Jakarta Barat.
Anak-anak terjebak dalam situasi perkawinan di bawah umur, pelacuran, pornografi daring dan perdagangan seks.
Dikutip dari data hasil peantauan kasus eksploitasi seksual komersil anak pada Januari - Maret 2019 dari ECPAT, ada 37 kasus eksploitasi seksual dan kekerasan anak dan hampir setengahnya adalah prostitusi. Pelaku didominasi orang dewasa pada 24 kasus atau 65 persen dari total kasus. Korbannya didominasi anak perempuan, yakni 97 persen. Kejadian ini paling banyak terjadi di provinsi Lampung, Riau, Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali.
Berdasarkan data yang terkumpul di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 7 September 2021, ada 16.845 kasus yang didominasi korban kekerasan seksual (4.574). Sebagian besar korbannya merupakan anak perempuan, yakni 8.697 orang.
Fitra menjelaskan, eksploitasi seksual anak adalah masalah kompleks dan universal. Anak-anak yang jadi korban umumnya punya mobilitas tinggi dan tergabung dalam sindikat kejahatan eksploitasi seksual. Mereka yang telah jadi korban sulit melepaskan diri dari situasi ketika sudah terjebak, sulit pula untuk memulihkan kondisinya. Perlu rehabilitasi dan reintegrasi di lingkungan masyarakat agar anak-anak yang jadi korban bisa pulih.
Fitra menjelaskan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan ECPAT Indonesia sudah melakukan kegiatan pelatihan Pembentukan Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas dari Kekerasan dan Eksploitasi di berbagai tempat, seperti kabupaten Toba, Magelang, Belitung, Wakatobi hingga Manggarai Barat.
Pihaknya juga sudah melakukan pelatihan pembentukan wisata pedesaan ramah anak bebas dari kekerasan dan eksploitasi di desa Kuta Mandalika dan desa Derawan.
Desa wisata bebas kekerasan dan eksploitasi dibentuk demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat, meningkatkan etika, disiplin dan tanggung jawab pemangku kepentingan tentang pentingnya perlindungan anak, meningkatkan inisiatif pemerintah desa dalam membuat kebijakan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak pada wilayah desa, juga melindungi serta mencegah potensi kekerasan dan eksploitasi seksual anak di wisata perdesaan.
Koordinator Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Surana, menjelaskan sudah ada pedoman pencegahan eksploitasi seksual anak di lingkungan pariwisata. Dalam Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, disebutkan bahwa salah satu kriteria pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal meliputi pencegahan eksploitasi.
Langkah-langkah pencegahan oleh usaha pariwisata meliputi membuat dan menyebarkan informasi anti eskploitasi seksual anak, memberikan pelatihan kepada karwayan mengenai pencegahan eksploitasi anak, melindungi karyawan yang memberikan laporan terkait hal tersebut hingga memasukkan telepon pengaduan yang ada di kepolisian untuk kampanye pencegahan eksploitasi seksual anak.
Baca juga: Anggota DPR: Perlu perhatikan anak kehilangan orangtua akibat COVID-19
Baca juga: Polres Jaksel tangkap sindikat kejahatan seksual terhadap anak
Baca juga: KemenPPPA dampingi 17 anak korban eksploitasi di Sikka NTT
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021