Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, tantangan yang dihadapi dalam pegelolaan gambut diantaranya adalah soal cadangan air dan karbon, subsidensi, dan pencegahan kebakaran.
"Oleh karena itu hasil litbang menjadi dasar untuk memastikan praktik terbaik pengelolaan gambut bisa dilakukan termasuk untuk pengelolaan tata air dan pemilihan spesies tanaman yang bisa dibudidayakan," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Gambut No 71 tahun 2014 yang diperbarui dengan PP 57 tahun 2016 dan peraturan pelaksananya, muka air gambut dibatasi paling rendah 0,4 meter dari permukaan.
Terkait PP Gambut, Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) itu mengatakan, sebanyak 68 pemegang izin hutan tanaman yang telah membuat dokumen pemulihan dengan luas areal mencakup 2,2 juta hekatre dengan 5,669 unit titik pemantauan penaatan dan 8.012 sekat kanal yang dibangun.
"Tujuan dari pengelolaan gambut untuk hutan tanaman adalah mengatur tinggi muka air agar gambut tetap lembap, bisa mencegah kebakaran dan subsidensi, namun tetap bisa optimal untuk pertumbuhan tanaman," katanya dalam sesi plenary ke-4 the Internasional Seminar on Tropical Peatland "Peatlands for Environment, Food, Fiber, Bio-energy and People" yang diselenggarakan Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI).
Baca juga: BRGM tingkatkan kolaborasi untuk percepat pemulihan ekosistem gambut
Indroyono menyatakan pemantauan dan pengendalian di lapangan terus dilakukan untuk memastikan tinggi muka air dan karakter gambut. Apalagi pengendalian dan pemantauan tinggi muka air menjadi bagian dari penurunan emisi.
Menurut dia, penerapan praktik terbaik pengelolaan gambut oleh manajemen hutan tanaman diharapkan bisa mendukung tersedianya bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk memasok industri di tanah air.
APHI menargetkan ekspor produk hasil hutan kayu dan non kayu bisa mencapai 60 miliar dolar AS di tahun 2045 dan menciptakan lapangan kerja langsung bagi 6,5 juta orang.
Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bandung Sahari menambahkan pelaku usaha perkebunan sawit juga berkomitmen untuk menerapkan pengelolaan gambut terbaik.
Baca juga: KLHK umumkan luas PIPPIB hutan alam dan gambut jadi 66,139 juta ha
Dia menyatakan pemanfaatan gambut untuk perkebunan sawit berkelanjutan telah terbukti salah satunya di Labuanbatu, Sumatera Utara, yang telah berusia lebih dari 100 tahun. *
Sementara itu peneliti dari Sinar Mas Forestry Corporate R&D, Budi Tjahjono menjelaskan untuk mengimplementasikan praktik terbaik pengelolaan gambut, pihaknya melakukan penelitian untuk pengembangan spesies tanaman alternatif selain Acacia crassicarpa.
"Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UGM, dan Deltares," katanya.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Siak dengan 14 percobaan. Spesies tanaman yang diteliti diantaranya adalah balangeran (Shorea balangeran), gelam (Melaleuca leucadendra), geronggang (Cratoxylon arborescens), dan terentang (Camnosperma coriaceum).
Dikatakannya, pihaknya bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga melakukan penelitian perbenihan dan pembibitan untuk spesies-spesies alternatif tersebut, hasilnya, balangeran dan geronggang sudah bisa diperbanyak dengan memanfaatkan teknologi tissue culture sehingga menjamin kualitas pohon yang dihasilkan.
Dari hasil penelitian, kata Budi, balangeran dan gelam potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman alternatif di hutan tanaman karena memiliki produktivitas relatif tinggi di area basah, mencapai masing-masing 45,8 m3/ha dan 39,77 m3/ha setelah 4 tahun, namun belum sebanding dengan produktivitas Acacia crassicarpa di area gambut normal yang bisa mencapai 120 m3/ ha pada umur 4 th.
Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021