Menurut dia, strategi komunikasi yang tersegmentasi kepada sasaran-sasaran perokok tertentu dapat membantu menurunkan angka perokok melalui kampanye sosialisasi bahaya rokok dan solusi alternatif yang ditawarkan.
Profesor Kholil yang menjadi pembicara 6th Global Public Health 2021 menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai cara demi menurunkan angka perokok yang telah mencapai 65 juta jiwa.
Salah satu caranya dengan menerapkan kebijakan gambar peringatan kesehatan (graphic health warning) pada bungkus rokok. Namun, diperlukan komunikasi yang lebih komprehensif dan tersegmentasi untuk menyampaikan mengenai bahaya merokok berikut solusinya.
"Dari perspektif komunikasi, kami melihat ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Dari anak SD sampai seseorang yang pendidikan S3 atau profesor, narasinya masih sama melalui gambar-gambar yang menakutkan," ujar Kholil seperti dikutip pada Minggu.
Baca juga: Bahaya rokok mengintai perempuan, kanker hingga komplikasi kehamilan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kerja kesehatan, perokok dan pengguna produk tembakau alternatif, Kholil menjelaskan pemerintah sebaiknya menerapkan strategi komunikasi komprehensif yang ditujukan untuk sosialisasi.
“Itu harus berbeda-beda, mulai dari komunikator hingga cara penyampaian pesan. Jadi komunikasi berdasarkan kondisi objektif yang dihadapi,” ungkapnya.
Pemerintah bisa berkolaborasi dengan figur publik dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok. Saluran komunikasinya pun juga disesuaikan, seperti media sosial.
Selain itu, Kholil melanjutkan, komunikator lainnya yang efektif adalah para tenaga medis, seperti dokter yang dapat menyampaikan sosialisasi tersebut melalui kanal yang beragam. Pasalnya, berdasarkan implementasi di seluruh dunia termasuk Indonesia, peringatan kesehatan dengan gambar menakutkan terbukti tidak efektif mengurangi angka perokok.
Selain mengedepankan strategi komunikasi yang tersegmentasi, Kholil juga menyarankan pemerintah memaksimalkan penggunaan produk tembakau alternatif. Banyak hasil kajian independen dari dalam maupun luar negeri yang menunjukkan bahwa produk itu memiliki potensi risiko yang lebih rendah daripada rokok. Hanya saja, informasi mengenai produk itu belum terdistribusi secara massif dan akurat kepada publik.
"Masyarakat harus diedukasi dengan baik, dari segi konsekuensinya yang dihadapi termasuk produk alternatif yang bisa menurunkan risiko. (Komunikasi) itu harus didukung data empiris,” tutup Kholil.
Baca juga: Penelitian ungkap peningkatan kesadaran bahaya rokok konvensional
Baca juga: Nikotin dan TAR, mana yang lebih berbahaya?
Baca juga: Paparan asap rokok meningkat selama WFH, begini cara mengatasinya
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021