Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan data potensi teknis energi terbarukan Indonesia masih merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443,2 GW dan belum diperbaharui sejak 2014, padahal potensi energi terbarukan justru lebih besar ketimbang data RUEN.
"Data potensi energi terbarukan yang tidak optimal akan mempengaruhi cara pandang, strategi serta pembuatan keputusan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
Fabby menjelaskan data lama itu akan membuat pemerintah dan pelaku usaha tidak optimal merencanakan transisi energi di Indonesia, dan formulasi kebijakan untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan.
Menurutnya, pemutakhiran data menjadi sangat penting dalam rangka merencanakan transisi energi Indonesia.
IESR menggunakan sistem informasi geografis atau GIS untuk memutakhirkan data potensi teknis surya, angin, dan air di Indonesia, termasuk mempertimbangkan masalah variabilitas dan sifat intermitensi ketiga jenis energi terbarukan tersebut.
Selain itu, IESR juga mengkaji potensi biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa atau pumped hydro energy storage (PHES) dengan hasil Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa sebesar 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.
Biomassa dan PHES dapat digunakan sebagai sumber-sumber pelengkap untuk mengatasi masalah intermitensi dan variabilitas dari energi surya, angin, air.
"Hasil hitungan kami menunjukkan potensi biomassa mencapai 30,73 GW, namun efisiensinya hanya 20-35 persen, sehingga memerlukan PHES,” jelas Peneliti Senior dan Penulis Utama Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials” Handriyanti Diah Puspitarini.
Potensi besar ini jika dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia.
Kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia yang dilakukan IESR dan telah dipublikasikan Mei lalu, memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1.600 GW pada 2050.
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1.600 GW tersebut dari 100 persen energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050.
Berdasarkan kajian tersebut, kontribusi utamanya berasal dari 1.492 GW fotovoltaik surya sebesar 88 persen dari bauran energi primer, 40 GW tenaga air, dan 19 GW panas bumi dengan didukung dengan kapasitas penyimpanan yang optimal.
“Peta potensi energi terbarukan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan biaya, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para pemangku kepentingan tentang lokasi energi terbarukan yang optimal untuk dikembangkan," terang Handriyanti.
Melalui kajian ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk pertama, memperbaiki data potensi energi terbarukan yang menjadi acuan perencanaan di sektor energi dan pembangunan, dan melakukan tinjauan secara berkala seiring dengan semakin matangnya teknologi energi terbarukan.
Kedua, pemerintah maupun para ahli perlu melengkapi peta potensi teknis dengan analisis singkat mengenai intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan, termasuk prediksi kondisi di beberapa tahun ke depan.
Ketiga, pemerintah dan pemangku kepentingan harus mulai mempertimbangkan pengembangan sistem terdesentralisasi dan koneksi antar pulau sebagai cara untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan yang dapat diakses oleh masyarakat di seluruh pulau, terutama daerah terpencil.
Keempat, pemerintah perlu memberi dukungan lebih pada berbagai inovasi teknologi energi terbarukan sehingga dapat membuka peluang pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar.
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021