Jakarta (ANTARA) - Selaku pemilik hutan tropis luas di dunia, Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Congo (IBC), menyamakan persepsi dan menyatukan sumber daya menuju gelaran Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow bulan November mendatang. Inisiatif untuk mengusung agenda Forest Power mulai diinisiasi Menteri LHK, Siti Nurbaya melalui korespondensi langsung bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Congo Eve Bazaiba Masudi, dan Menteri Lingkungan Hidup Brasil Joaquim Alvaro Pereira Leite, secara virtual pada 22 Oktober 2021.
Inisiasi Forest Power for Climate Actions lewat kolaborasi tiga negara bertujuan menyatukan terobosan dan solusi dari sektor kehutanan untuk pengendalian perubahan iklim. Kolaborasi ini memungkinkan ketiga negara akan bertindak sebagai pemimpin di wilayahnya masing-masing, bersama negara-negara tropis lainnya, dalam mempengaruhi negosiasi iklim.
Kolaborasi tiga negara ini juga merupakan rintisan dan akan membuka ruang bersama negara hutan tropis lainnya, dan juga membuka diri untuk bergabungnya negara-negara hutan temperate sebagai observer.
"Agenda ini sekaligus dalam rangka memperkuat pengaruh negara-negara pemilik hutan tropis luas dalam negosiasi iklim, terutama pada agenda paling dekat yaitu Konferensi Para Pihak COP26 UNFCCC di Glasgow," tutur Menteri Siti di Jakarta, (25/10).
Menteri Siti menegaskan jika kolaborasi ini akan mendengungkan kekuatan hutan dalam aksi iklim, sebagaimana layaknya tiga permata dunia yang diberkahi hutan tropis melimpah. Kolaborasi ini semakin memperkuat posisi tiga negara tersebut, di mana ketiganya terus memperjuangkan solusi efektif dalam aksi-aksi iklim terutama dari sektor kehutanan. Tentu saja kolaborasi ini juga sebagai ajang mempromosikan solidaritas yang dibingkai dalam upaya bersama menuju pencapaian tujuan global di bawah Perjanjian Paris, yaitu menjaga peningkatan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius dari suhu di masa praindustri.
Area potensial untuk kerjasama antara negara-negara hutan yang dipimpin oleh Indonesia-Brasil-Republik Demokratik Kongo akan mencakup, isu-isu seperti pengurangan deforestasi, manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), perhutanan sosial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengelolaan dana iklim, administrasi pertanahan berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan bioprospeksi, serta rehabilitasi dan konservasi mangrove.
Semua area potensial yang didorong untuk dikolaborasikan oleh IBC, Indonesia sendiri telah memiliki rekam jejak yang nyata. Indonesia sudah menunjukkan kepemimpinan dengan contoh/Leading by Example yang cukup baik, bahkan salah satu yang terbaik di dunia. Pada isu penurunan deforestasi, kombinasi yang efektif antara kebijakan, pemberdayaan, dan penegakan hukum telah berhasil menurunkan laju deforestasi Indonesia ke tingkat terendah sepanjang sejarah.
Kebijakan Presiden Indonesia Joko Widodo melalui Peraturan Presiden pada tahun 2019 untuk menghentikan konversi hutan alam primer dan lahan gambut yang mencakup lebih dari 66 juta hektar, di mana luasnya melebihi luas gabungan negara Inggris dan Norwegia. Peta moratorium ini memungkinkan Indonesia untuk terus mengurangi emisi dari deforestasi, serta degradasi hutan yang melibatkan hutan primer besar dan lahan gambut. Peta moratorium juga mencakup bentangan habitat yang signifikan untuk beberapa spesies unggulan seperti orangutan Sumatera, harimau, gajah dan badak, serta spesies orangutan Tapanuli yang baru ditemukan.
Kemudian pada isu manajemen karhutla, Indonesia dengan bangga memamerkan pendekatan pengendalian karhutla terpadu yang telah berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan hingga 82%. Sementara pada saat yang sama beberapa wilayah di Amerika, Australia dan Eropa mengalami peningkatan signifikan kejadian karhutla. Indonesia juga berhasil menghindari apa yang disebut bencana ganda, yaitu kebakaran hutan yang menyebabkan asap terjadi secara paralel dengan wabah COVID-19, selama dua tahun pandemi (2020-2021).
"Indonesia juga terus fokus pada pekerjaan menakjubkan yang telah dilakukan terkait dengan perlindungan lahan gambut, yang bertujuan untuk mencegah dan menghindari kebakaran gambut. Brazil dapat memamerkan teknologi mutakhir untuk deteksi dan pencegahan kebakaran yang dimilikinya, sementara Kongo dapat berbagi pelajaran tentang inventarisasi hutan di antara isu-isu terkait lainnya," jelas Menteri Siti.
Selanjutnya Menteri Siti juga menyatakan jika pengalaman Indonesia dalam menerapkan perhutanan sosial sangat bermanfaat, begitu pula dengan pengalaman Brazil dalam mengelola cagar alam ekstraktif dan wilayah adatnya. Tidak diragukan lagi, Kongo juga memiliki pengalaman uniknya sendiri yang dapat dibagikan dan yang dapat kita semua pelajari.
Sementara dalam isu pengelolaan dana iklim, dari diskusi Menteri Siti dengan Menteri Lingkungan Hidup Brazil, kedua negara telah mendapat banyak pengalaman dari kerjasama-kerjasama yang telah terjadi sebelumnya. Indonesia akan mengambil manfaat dari pengalaman Brasil dengan Dana Amazon yang digunakan untuk mengelola keuangan iklim skala besar. Kemudian juga dalam isu pertanian berkelanjutan. Indonesia juga dapat mengambil manfaat dari pengalaman Brasil dalam penerapan rencana 'pertanian rendah karbon', serta teknik pertanian baru yang mendukung jutaan petani skala kecil & menengah, juga pada isu administrasi pertanahan berkelanjutan di mana Indonesia juga akan manfaatkan pengalaman Brazil dalam mengembangkan 'Environmental Registry' untuk mendorong pengelolaan lahan pribadi yang berkelanjutan, serta pengalaman Indonesia sendiri dalam mengelola daerah untuk penggunaan lahan alternatif untuk tujuan keberlanjutan.
"Pengalaman-pengalaman serupa dari Kongo tentu akan sangat menarik dan berguna juga untuk dapat saling dipelajari," imbuh Menteri Siti.
Yang tak kalah penting yaitu pada isu keanekaragaman hayati dan bioprospeksi. Negara-negara IBC tentu sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan spesies unggulan, khususnya bioprospeksi sangat penting, tentunya ini perlu perhatian khusus agar dapat diangkat menjadi aksi-aksi iklim yang bermanfaat global.
Terakhir pada isu yang sedang hangat, yaitu rehabilitasi dan konservasi mangrove. Indonesia mengajak Brazil dan Kongo untuk belajar dari pengalaman-pengalaman Indonesia melindungi hutan mangrove, yang ternyata dibuktikan secara ilmiah mempunyai kemampuan berkali lipat dalam menyerap dan menyimpan karbon dibandingkan hutan tropis di daratan. Indonesia pun telah mengumumkan prakarsa baru untuk memulihkan 600 ribu hektar hutan mangrove yang rusak selama tiga tahun ke depan hingga 2024.
"Kami percaya bahwa peningkatan kolaborasi kami dalam bentuk inisiatif IBC tentang Forest Power for Climate Actions akan sangat bermanfaat bagi kami semua, dan kami berharap dapat menyambut Anda dalam kemitraan ini, khususnya dalam gelaran COP 26 di Glasgow nanti," pungkas Menteri Siti.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2021